Monday, April 14, 2014

Menjadi Jurnalisme Damai





 Oleh Adi Permana*

Berbicara tentang posisi jurnalis dalam sebuah konflik amat menarik. Karena dewasa ini isu-isu tentang konflik, baik itu antar negara, ideologi, agama, budaya dan yang lainnya kerap diperbincangkan di banyak media. Termasuk media massa. Sebuah konflik sebenarnya sangat bergantung pada media massa. Sebab sebagaimanapun kecilnya konflik itu, jika media massa memberitakan dengan dahsyat, maka konflik itu akan menjadi konflik besar. Paling tidak akan jadi sebuah legitimasi. Dengan kata lain media massa menjadi alat percepatan suatu topik tertentu.

Realitas media massa dalam memberitakan sebuah konflik bukanlah hal sepele. Dalam konteks ini, media massa setidaknya mempunyai tiga peranan penting. Pertama, media menjadi agen untuk mempertajam , memperluas dan “mempopulerkan” sebuah konflik. Kedua, media massa menjadi aktor netral, mediator atau penengah pada suatu konflik. Dan yang ketiga, media massa bisa menjadi alat dalam melenyapkan atau menghilangkan sebuah konflik.

Bila kita cermati kembali kajian tentang etika jurnalisme. Di sana secara tegas menjelaskan bahwa posisi seorang jurnalis pada sebuah konflik harus netral. Seorang jurnal tidak boleh memihak pada salah satu golongan atau kepentingan. Pada posisi itu, jurnalis dalam praktek jurnalistik

Saturday, April 12, 2014

Menularkan Anti Golput Lewat Deklarasi Pemilih Muda

Foto: Anisyah AF Yusefa

BANDUNG -- Golongan Putih (Golput) masih menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk diatasi. Golput bisa disebabkan beragam faktor, salah satunya karena ajakan orang-orang yang tak bertanggung jawab.  Terutama bagi pemilih muda atau yang baru pertama kali ikut nyoblos, yang notabene masih mudah terpengaruh untuk “ikut-ikutan” Golput. 

Salah satu cara untuk mengajak pemilih muda agar tidak Golput yakni lewat Deklarasi Pemilih Muda. Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa dari pelbagai Universitas di Bandung melalui kegiatan Rock The Vote Indonesia (RTVI) di Auditorium UIN SGD Bandung, Rabu (26/3).

Deklarasi tersebut ditujukan untuk menularkan kepada para pemilih muda agar tidak Golput. Karena masa depan Indonesia ada di tangan Anda. Dalam acara yang dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Direktur Center of Education Political Party (CEPP) Jawa Barat, Muslim Mufti, siswa SMA dan sekitar seribu mahasiswa ini, berisi pernyataan sikap untuk siap memberikan berpartisipasi dalam Pemilu 2014 nanti. 

Selain itu, dengan Deklarasi ini juga bisa menjadi ajang yang efektif untuk sosialisasi Pemilu 2014 nanti. Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (FISIP) UIN SGD Bandung, Ivan Latifa Fadila. Menurut Ivan, dengan Deklarasi Pemilih Muda, bisa menjadi sosialisasi yang tepat untuk

Bantu Hidupi Keluarga, Siska Jualan Cobek Puluhan Kilometer



Siang itu, Siska (9) sedang duduk di sebuah trotoar di sekitaran Jalan Riau, Bandung. Ia sedang menunggu lampu merah menyala. Di perempatan jalan itu ia dengan gigih memikul cobek sambil menjajakannya kepada beberapa orang yang lewat atau kepada pengemudi mobil di kala lampu merah menyala.

Gadis kecil bertubuh kurus, berambut agak merah muda ini tak seorang diri berjualan. Ia ditemani adik laki-lakinya yang berumur empat tahun berjualan cobek. Cobek yang ia jual dihargai dari mulai Rp 15.000 sampai Rp.25.000 per buahnya. 

“Dalam sehari biasanya hanya laku dua cobek. Itu pun jarang laku, biasanya dapat uang dari pemberian orang lain yang merasa kasihan,” tutur Siska dalam bahasa Sunda, Minggu (30/4). 

Saat ini Siska duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Ia biasa berjualan cobek di saat hari libur sekolah sehingga tak menganggu rutinitas belajarnya. Setiap jualan, Siska yang bercita-cita menjadi dokter ini sanggup memikul cobek sampai berpuluh-puluh kilometer dengan hanya

Membenahi Tata Ruang Kota Bandung

Banjir di Baleedah/Tempo.co


BANDUNG -- Buruknya tata ruang di Kota Bandung masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung seolah tak pernah beres menyelesaikan permasalahan itu. Banyak dampak yang terasa dari semrawutnya penataan kota. Seperti banjir dan kemacetan lalu lintas yang hingga kini masih jadi masalah klasik yang sering dijumpai. 

Tidaknya hanya itu, dampak pada lingkungan pun begitu terasa. Dari data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung saat ini masih dikisaran sembilan persen. Jauh dari aturan yang seharusnya 30 persen. Akibat dari kurangnya RTH itu, tentunya tingkat polusi di Kota Bandung akan semakin bertambah. Bahkan, tempat yang seharusnya menjadi sumber-sumber resapan air beralih fungsi jadi industri komersialisasi. Kehadiran hutan kota pun sudah mulai berubah jadi hutan beton.

Penempatan bangunan yang tidak sesuai aturan juga harus menjadi perhatian penuh Pemkot Bandung. Selain Pemkot, dinas-dinas terkait pun harus punya tanggung jawab penuh untuk membenahi masalah tata ruang. Bila tidak, maka masalah yang baru akan terus bermunculan. 

“Kota Bandung merupakan sebuah kota yang mulai mempunyai permasalahan kompleks,  terutama dalam transportasi dan tata letak perumahan. Ketika permasalahan ini terjadi, maka permasalahan-permasalahan lainnya pun akan muncul,” ujar Ridwansyah Yusuf Ahmad, Pakar Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) saat ditemui di kampus ITB, Senin (10/3).

Kesemrawutan tata ruang Kota Bandung juga tak pernah lepas dari perencanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana. Seperti yang diungkapkan Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Dwi Sawung. Menurut Sawung, tata ruang sekarang lebih disesuaikan dengan kondisi yang ada. Tidak ada zona-zona khusus untuk

Thursday, April 10, 2014

Dirgahayu Pesta Demokrasi



Kampanye partai Demokrat/Ilustrasi
(Foto: surabaya.tribunnews.com


Tahun 2014 boleh dikatakan sebagai tahunnya politik. Sebab segalanya selalu berbau politik. Di warung kopi orang banyak bicara politik, di tembok-tembok actor politik unjuk gigi, di tiang listrik, di televisi apalagi, sampai-sampai di instansi pendidikan pun tak luput dari aroma politik. Bendera Merah Putih pun sepertinya kalah pamor dengan bendera parpol yang lebih gagah berkibar.

Itulah Indonesia, Negara yang punya ritual khas lima tahunan. Semua menyoroti pesta demokrasi itu. Ya, hal itu tentunya wajar, sebab di sanalah momentum negeri ini untuk bangkit dari keterpurukan. Segala harapan tentu bersemayam di hati para penghuninya. Tak terkecuali bagi seorang bayi yang baru lahir yang punya harapan besar untuk hidupnya kelak bisa sejahtera.

Di satu sisi, euforia seperti itu memang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakatnya pada politik. Tapi di satu sisi, kita juga harus berhati-hati dengan euforia itu. Jangan kita terlalu terlena dimabuk kepayang demokrasi. Jangan sampai para wakil-wakil kita terus-terusan “berpesta”. Sementara yang lainnya