Tuesday, April 26, 2016

Disiplin Waktu



Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal soleh, dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
(Q.S Al-’asr)


Setiap orang memiliki waktu yang sama, yaitu 24 jam. Tapi tidak setiap orang pandai memanfaatkan waktu yang sama itu. Artinya, ada orang yang bisa menggunaan waktu yang singkat itu untuk kegiatan bermanfaat, ada pula yang sebaliknya. Seperti kutipan ayat di atas, kita (manusia) benar-benar dalam kerugian jika tak pandai menggunakan waktu untuk hal-hal positif (kebaikan).

Apakah kalian sering bertanya pada diri sendiri atau kagum pada orang-orang yang sukses? Jangan jauh-jauh, kita ambil contoh orang-orang di sekeliling kita. Misalnya ada yang sejak muda sukses berkarier, mendapat beasiswa pendidikan, jadi interpreuneur muda, berprestasi dan banyak lagi. Mengapa mereka bisa seperti itu tetapi kita belum? Pertanyaan itu juga berlaku untuk saya sebenarnya, dan memang harus sering dimunculkan, bisa ditulis di dinding kamar? Di gadget, atau tempat lain. Tujuannya untuk memotivasi diri sendiri.

Seperti halnya tulisan ini. Saya sebenarnya sengaja menulis tulisan dengan tema memanfaatkan waktu bukan untuk sosoan menceramahi, karena jujur saya juga termasuk orang yang tak pandai memanfaatkan waktu. Intinya adalah untuk berbagi, seperti pepatah seorang ulama Islam, bahwa manusia memang harus selalu diberi nasehat, karena manusia seringkali lupa.

Tulisan ini juga sebenarnya terinspirasi dari materi khutbah yang disampaikan oleh khotib pada salat Jumat (22/4) lalu. Saya yang biasanya, eh kadang-kadang maksudnya, tidur saat cermah khotib, kala itu begitu antusias dengan materi yang disampaikannya. Inilah mungkin yang dinamakan mendapat hidayah. Alhamdulilah…

Jadi pada Jumat itu, khotib menyampaikan materi tentang memperbaiki salat. Salah satu poinnya yaitu memperbaiki waktu pelaksanaan salat. Banyak di antara kita sering kali salat tidak di awal waktu, berleha-leha pada salat. “Fawailul lismusollin, alladziina hum ansolaatihim saahuun,” ucap sang khotib menyampaikan Surat Al-Ma’un :5-6. Ayat tersebut memiliki arti, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.”
Lalai di sana maksudnya adalah salat yang sering dinanti-nanti, hingga akhirnya salah di akhir waktu. 

Maka, kata khotib, setiap kali kita lalai dalam salat akan ada konsekuensi (sanksi) yang bakal dihadapi. Khotib mengibaratkan seperti ini, ada seorang guru mengatakan kepada murid kelasnya bahwa besok harus datang ke sekolah pukul 07.00 pagi, dan mengikuti kegiatan belajar sampai pukul 13.00. Berarti waktu sekolah adalah dari pukul 07.00-13.00. Lalu ada seorang murid yang datang pukul 09.00. Lantas murid itu pun tentu ditegur oleh gurunya karena tak mengikuti aturan guru, tapi murid itu berdalih, bukankah pukul 09.00 masih termasuk waktu sekolah? Ya jawabannya murid itu memang benar, tapi salah. Kesalahannya yaitu terdapat pada tidak disiplin dalam waktu.

Salat pun demikian. Allah telah menyuruh kepada kita untuk salat pada waktu yang telah ditentukan. Berarti kalau waktunya salat ya salat. Meskipun waktu salat dzuhur dari pukul 12.00-15.00, bukan berarti kita bisa seenaknya salat kapan saja selama rentang waktu itu. Kira-kira begitulah materi khutbah yang disampaikan khotib.

Gimana, udah kaya Jujun belum nih. Hehe..

Lantas apa korelasinya dengan memanfaatkan waktu? Hubungannya yaitu terdapat pada kedisiplinan dalam waktu. Islam sendiri mengajarkan kepada kita untuk selalu disiplin waktu. Segala sesuatu ada waktunya. Kapan puasa, salat, zakat, naik haji, dzikir yang baik, dan banyak lagi. Kalau kamu kapan nikah? *eh.

Konsep disiplin waktu itu pula yang mestinya diterapkan oleh kita dalam berkegiatan sehari-hari. Maksudnya kita harus punya rencana-rencana kegiatan apa saja yang akan digunakan dalam 24 jam. Agar kita bisa memaksimalkan waktu itu, dan agar tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
Banyak hal bisa dilakukan oleh kita dalam memanfaatkan waktu luang. Saya sendiri, dalam memanfaatkan waktu itu digunakan untuk membaca dan menulis. Jadi kalau ada waktu luang, saya berusaha untuk membaca, apalagi saat ini kita sudah dimudahkan dengan kehadiran smartphone. Menulis tidak usah ribet-ribet menggunakan laptop, lewat gawai pun bisa. Asik.

Apalagi kalau semester akhir seperti saya, waktu luangnya banyak sekali. Mengerjakan skripsi ya tidak setiap hari juga digeder. Saya sendiri lebih santai dalam mengerjakan skripsi, maksudnya bukan berleha-leha, tapi lebih ke ngeureuyeuh kalau dalam bahasa Sundanya, yang penting beres sesuai target. Karena otak pun akan jenuh atuh. Makanya sesekali kita selingi dengan hal-hal postif lain selain skripsi. Misalnya nongkrong/kumpul (silaturahim) atau hangout sama kolega. Mumpung masih mahasiswa, masih single lagi, kalau sudah kerja dan nikah bakalan susah biasanya ketemu kawan lama. Tapi nongkrong juga jangan asal ngopi, coba selingi nongkrong dengan diskusi, tentang apa saja.

Belajar robotik dan bahasa pemrograman komputer di sekre Orda Karmapack, Minggu (24/4).


Jalan-jalan sama kolega dan daun ngora ke dataran tinggi yang terkenal di Bandung. :)

Ya intinya adalah mari kita manfaatkan waktu 24 jam ini dengan hal-hal yang produktif! Menghasilkan karya. Biar hidup kita punya prestice yang lebih, maka berkaryalah, maka produktiflah. Jangan sampai waktu kita digunakan untuk hal-hal yang kurang baik. Apalagi kalau kerjaannya tidur, bangun, ngopi, makan, nonton film, tidur lagi, begitu terus. Kalian yang baca tulisan ini bukan termasuk orang macam itu kan?


Friday, April 22, 2016

Kekerasan dalam Pacaran



Pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh UKM Women Study Center (WSC) UIN SGD Bandung, Kamis, 21 April 2016, salah seorang pemateri Dr Neng Hannah menyampaikan materi tentang kekerasan dalam pacaran. Tema itu menjadi menarik untuk disimak, sebab selama ini kita hanya tahu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saja, ternyata dalam lingkup pacaran pun ada.

Istilah itu memang tidak mengada-ngada, sebab berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada Maret 2016, menyebutkan bahwa kekerasan dalam pacaran menempati urutan kedua setelah KDRT di Bandung, yakni lebih dari 2.000 kasus (saya lupa lagi angka tepatnya). Data tersebut tentu mesti jadi perhatian bagi kita, sebab sudah bisa dikategorikan sebagai persoalan yang serius.

Neng Hannah memulai materinya dengan sebuah percakapan bersama seorang mahasiswi yang curhat kepadanya tentang pengalaman berpacaran. Perempuan itu bilang, saat ini dirinya ingin dinikahi pacarnya. Lalu Neng Hannah bertanya, mengapa Anda ingin dinikahi? Jawaban perempuan itu mengejutkan, karena pacarnya telah melecehkannya secara seksual.

Lalu keresahan mahasiswi itu mencuat karena setelah dilecehkan secara seksual, pacarnya tiba-tiba lost contact. Padahal pacar mahasiswi itu sudah berjanji akan bertanggung jawab pada semua tindakan yang telah ia lakukan. Saya hanya bisa mengelus dada mendengar yang disampaikan Neng Hannah. Mungkin sebagian di antara kita sudah tidak asing lagi mendengar cerita demikian.

Menurut Neng Hannah, pelecehan seksual bisa termasuk kepada kekerasan dalam pacaran. Sebab biasanya, kegiatan tersebut bisa hasil dari kemauan (paksaan) salah satu pasangan untuk membuktikan seberapa besar cinta yang ia miliki terhadap pasangannya. Selain itu kekerasan dalam pacaran juga terjadi dalam aspek fisik (pemukulan, digampar, dll), psikologis (berkenaan dengan tekanan kejiwaan, misalnya pasangan yang emosionalnya tinggi, keras kepala, egois tinggi, yang membuat kita membatin), dan materi (bisa ketika pasangan kita memaksa membelikan sesuatu).

Mendengar yang disampaikan Neng Hannah saya ketawa sendiri. Kenapa? Karena saya juga pernah mengalami pacaran (catat: pernah bukan sering). Bahkan sering kali, ketika pacaran, untuk pembuktian cinta saya rela hujan-hujanan, panas-panasan untuk antarjemput. Mentraktir makan, atau membelikan sesuatu. Tapi saya tak begitu mempermasalahkan, selama itu masih dalam batas wajar dan kita mampu menyanggupi. Hehe..

Lalu bagaimana solusi kongkrit dari permasalahan kekerasan dalam pacaran? Perlu kita ketahui, bahwa tidak ada regulasi yang mengatur soal kekerasan pacaran, yang ada hanya aturan untuk KDRT. Terus bagaimana? Jawabannya yakni berhentilah untuk pacaran. Mengapa demikian sebab dalam wacana Islam, tidak ada istilah pacaran.

Lalu bagaimana dengan Taaruf? Menurut Neng Hannah, Taaruf memang ada dalam Islam, bertujuan kepada kita untuk saling mengenal satu sama lain. Namun tidak ada fiqih yang menjelaskan secara lebih lanjut bagaimana itu Taaruf dalam konteks berhubungan antara lawan jenis. Sehingga Taaruf sering kali jadi casing berbeda, namun isinya tetap sama dengan pacaran. Artinya hanya beda nama. “Kalau mau menjalin hubungan, lebih baik khitbah,” kata Neng Hannah.

Secara prinsip, saya sepakat dengan yang disampaikan Neng Hannah. Namun ya tetap, dalam konteks sosiologis pacaran sudah menjadi hal yang lumrah, sulit untuk menghindari keberadaannya. Budaya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Lagi-lagi ini kembali kepada diri kita masing-masing bagaimana menyikapi pacaran.

Jika dihadapkan pada persoalan ini, kita memang mesti arif dalam menyikapinya. Menurut saya, pacaran memang kurang baik. Walaupun ada sisi positifnya, tetapi sisi negatifnya lebih banyak. Akan tetapi, karena sudah menjadi hal lumrah, yang sulit untuk dihindarkan di masyarakat, kita perlu membatasi diri pada hal-hal yang positifnya saja. Apa saja itu? Entahlah saya sendiri juga bingung apa hal positif yang dihasilkan dari pacaran. Ketika pacaran sudah merangsek pada hal kurang baik (misalnya kekerasan dalam pacaran) lebih baik kita tanggalkan status pacaran.

Ada yang salah memang dari masyarakat kita, yakni sering kali mengolok-ngolok setiap orang yang tidak pacaran (Baca: jomblo atau single). Padahal stereotype itu tidaklah benar. Menurut saya jomblo atau single pada masa remaja (puber), itu jauh lebih baik daripada kita berpacaran tapi malah terjebak pada hal-hal yang negatif. Bagi saya, yang menjadi persoalan di sini hanya status sosial. Lalu apakah karena kita jomblo/single, tidak bisa mendapat beasiswa, IPK jadi di bawah rata-rata, sulit melamar pekerjaan, tidak punya penghasilan, dll. Kan tidak demikian. Justru yang ada adalah motivasi diri kita makin tinggi, sebagai upaya untuk memantaskan diri meminang lawan jenis.

Teman saya punya konsep berhubungan begini, jika memang di antara kita ada yang suka pada lawan jenis, alangkah lebih baik jika itu diungkapkan. Tapi jangan sampai berujung pada pacaran, karena nantinya setelah pacaran akan ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku. Ketika sudah mengungkapkan perasaan dan respon yang sama suka dari lawan jenis, syukur-syukur langsung mengkhitbah. Tapi kalau belum siap, maka cobalah untuk membuat kesepakatan saling percaya sampai khitbah. Maksudnya adalah dalam proses menuju khitbah itulah masing-masing dari kita berusaha memantaskan diri. Proses taaruf dalam konteks yang benar pun terjadi di sana. Kalau saya menafsirkannya dalam bahasa beken sebagai hubungan tanpa status. Tapi bukan PHP, karena masing-masing sudah memberi kepastian: berkhitbah.

Cara ini memang agak aneh, tapi boleh dijadikan referensi dalam berhubungan. Entahlah saya juga bingung, soal begini saya bukan pakarnya. Tapi yang jelas, perlu saya ulangi dalam wacana Islam, tidak ada yang namanya pacaran. Dan pacaran, karena kehadirannya sudah menjadi hal yang sulit dihindari, kita mesti arif menyikapinya. Jangan sampai kita terjebak pada pacaran yang menimbulkan ekses negatif.

Wallahualam. Terima kasih, semoga menginspirasi.

Tuesday, April 19, 2016

Menulis Catatan Harian



Tahun lalu, ketika aku masih menjadi pengurus Suaka–tepatnya periode 2014-2015–aku sering stalking catatan harian anak Suaka di luar rutinitas mereka menulis berita. Entah itu di blog, tumblr atau sebuah status di media sosial. Tujuanku ada dua kala itu; mengetahui karakter tulisan dan melihat bagaimana perkembangan mereka dalam menulis.
Tapi sayang tidak semua orang suka menulis catatan harian. Begitupun dengan anak Suaka kala itu. Hanya beberapa orang–tak akan disebutkan siapa saja–yang gemar menulis catatan harian. Yang aku tangkap ketika itu, dan sampai sekarang beberapa hal dapat aku simpulkan. Beginilah hasilnya:

Pertama, yang aku ketahui ternyata semakin sering seseorang gemar menulis catatan harian, kemampuan menulis pun makin terasah. Itu terbukti ketika, ada anggota Suaka dulu sering nulis catatan harian panjang, tapi pesan/makna yang disampaikan dari tulisannya belum tersampaikan. Artinya tulisannya masih kosong. Namun sekarang, beberapa yang sering nulis catatan harian, sudah mahir merangkai kata, membuat silogisme, strukturnya renyah, mengalir dan esensinya dapat. Artinya benar bahwa, kesempurnaan itu dihasilkan lewat kebiasaan.

Kedua, ternyata menulis catatan harian mengasah kita untuk menganalisa hal sederhana di keseharian kita untuk dijadikan hal luar biasa. Misalnya, aku siang tadi naik bus Damri. Namun kondisi di bus ketika itu penuh sesak, kemudian jalanan macet, dll. Lalu dari situ kita bisa “meliarkan” pikiran ke fenomena transportasi massal Indonesia dengan kondisi lalu lintas Bandung kenapa bisa macet. Atau contoh lain yang dekat, dosen yang jarang hadir, kemudian di tarik ke runyamnya proses pendidikan, kinerja dosen yang kurang profesional, dan contoh sederhana lainnya. Tentu hal itu bakal menunjang kemampuan kita di bidang jurnalisme. Karena berasal dari keresahan kita, sikap kritis kita, perasaan skeptis, dan yang demikian itu ruhnya seorang jurnalis.

Ketiga, menulis catatan harian–terutama dengan karakter sastrawi, naratif, dan deskriptif–mengasah kemampuan kita membuat feature. Sebab di catatan harian, kita berusaha menggambarkan/menulis ulang kejadian yang telah dilewati untuk bisa divisualkan dalan pikiran pembaca. Misalnya ada anggota Suaka yang baru dari suatu tempat di Bandung, kemudian dia ceritakan bagaimana kondisi tempat itu, runut waktunya, plus dengan suasananya, dll. Ya karakter feature tidak jauh dari seperti itu. Ketika menulis dept news/investigatif news penggambaran suasana liputan, wawancara, raut muka, dan narasi liputan jadi suplemen agar tulisan enak dibaca. Tidak sekedar si A bilang apa, si B bilang begini, lalu ditanggapi oleh si C.

Keempat, dan menjadi kesimpulan terakhir, dengan menulis catatan harian, aku sendiri bisa tahu sejauh mana wawasan seseorang, dan tingkat bacaannya. Sebagai contoh sering kita melihat ada catatan harian, lalu disandarkan pada pendapat seorang. Jika kalian sering membaca kiran “PR” di headline kolom sebelah kiri sering ada tulisan Deddy Mulyana (semoga tidak salah menulis nama) yang kerap kali mengangkat kejadian sederhana di keseharian kita, lalu disandarkan pada fenomena politik, ekonomi, budaya dll Indonesia yang sedang berkembang. Ia juga sering menyandingkan cerita sejarah dulu dan diangkat pada kejadian sekarang.

Ya begitulah kira-kira manfaat menulis catatan harian. Memang tulisan ini hanya pandangan subjektif. Kesimpulan tersebut juga masih dangkal. Tapi semoga bisa bermanfaat agar kita jadi “terangsang” kembali untuk giat menulis catatan harian. Ingat dalam setiap catatan kita nanti, tidak sekedar menulis indah, tapi harus ada pesan apa yang akan disampaikan. Jujur, aku sendiri menulis ini agak kesulitan, sebab sudah jarang nulis, tidak se-instens dulu.

Selamat menulis

Monday, April 18, 2016

Ditinggal Pembuat Langseng, Kampung Kaleng Kini Tertatih-tatih

Sumber foto: Antara


Seorang pria tengah sibuk memukul-mukul besi alumunium. Dengan cekatan, dibentuklah alumunium itu menjadi sebuah langseng. Ukurannya beragam, ada yang dari yang terkecil 5  liter sampai yang terbesar yaitu 20 liter.

Itulah kegiatan sehari-sehari yang dilakukan oleh Mamat Rahmat, 59 tahun, warga Desa Paledang, Kecamatan Cileunyi Kulon, Kabupaten Bandung atau lebih terkenal dengan sebutan Kampung Lanseng. Jika berkunjung ke tempat itu, suara “trang, trang, trang sepanjang jalan” akan menghiasi telinga. Wajar, sejak dulu, warga di kampung itu sudah turun temurun membuat langseng.

Namun, lain dulu lain sekarang, menurut Rahmat, kini keberadaan pembuat langseng semakin sulit di kampungnya. Sebab kebanyakan sudah beralih profesi. “Katanya bosen biki langseng terus, pengen ada suasana baru,” kata Ramhat saat ditemui di kediamannya, Sabtu, 22 Agustus 2015.

Di tempatnya, kata Rahmat, kini sudah sedikit memproduksi langseng sendiri oleh pekerja, dan lebih diberikan kepada pembuat langseng rumahan yang mengambil bahannya dari Rahmat. “Jadi yang sistemnya orang ngambil bahan di sini, nanti udah jadi di balikin, dibayar per langseng,” jelas lelaki berkumis itu.

Menurut Rahmat, dalam sehari tak menentu banyaknya langseng diproduksi, “Kalau manual paling 15-25 set per hari,” ujarnya. Dalam satu set langseng tersebut ada tiga jenis ukuran, yaitu kecil, besar dan kecil. Adapun setiapnya setnya, kata Rahmat dijual sebesar Rp 75.000. “Itu harga asli dari sini, yang jualnya mah beda lagi, tergantung yang jual.”

Rahmat menuturkan, dulu antara tahun 2000-2005, waktu sedang rame-ramenya, setiap rumah memproduksi langseng. Kini, yang tersisa hanya 8-10 rumah produksi yang setiap hari produktif membuat langseng. Hal itu berimbas pada penjualan, sebab persediaan langseng kini menjadi tak tentu karena sulitnya pekerja.

“Kalau dulu, biasanya dalam seminggu 2-3 kali ngirim barang pake truck. Sekarang paling sebulan dua kali ngirim,” kata Rahmat yang sudah memproduksi langseng selama 10 tahun. Untuk menyiasati hal itu, selain menmbuat langseng ia pun berjualan domba.

Selain itu, tertatih-tatihnya usaha langseng Rahmat yakni karena banyak penjual yang mengambil barang darinya tidak setor. Akibatnya, jika dikumpul-kumpul kurang lebih Rp 1 miliar uang setor dari penjual belum juga ia terima. “Mereka pada pesen sekian set, eh ga balik lagi. Malahan, ada yang keluarganya di sini (kampung langseng) belum balik-balik,” ucapnya.

Rahmat mengatakan, pemasaran langsengnya hampir menyebar ke di Indonesia mulai dari Padang, Lombok, Lampung, Pulau Jawa, sampai Papua. Oleh karenya ia tidak sembarangan memberi langseng ke penjual, lebih memilih kepaa orang kenal dan mempunyai jaminan. Selain langseng di “kampong kaleng” itu juga memproduksi panic, kompor, kaleng, oven dan lainnya.

Sejarah dinamai Kampung Langseng, katanya, sudah ada sekitar 20 tahun lalu. Dimulai ketika ada salah seorang warga yang membuat langseng lalu sukses, kemudian diikuti oleh warga lainnya sampai setiap rumah memproduksi langseng. “Waktu itu permintaan langseng sedang banyak juga,” ujarnya.

Untuk membuat langseng sendiri, ada beberapa tahap yang dikerjakan. Pertama sebuah lempeng dibuat pola sesuai dengan ukuran-ukuran. Kemudian dibentuk dengan dipukul-pukul, menjadi sebuah langseng. Makanya, saat berkunjung ke Kampung Langseng, suara-suara “teng, teng, teng” akan selalu terdengar.

Kini, usaha Rahmat beserta rekan-rekannya sesame pembuat langseng sedang tertatih-tatih. Meski begitu ia tetap berharap agar para pembuat langseng di Kampung Langseng tetap ada.