Tahun lalu, ketika aku masih menjadi pengurus Suaka–tepatnya periode 2014-2015–aku sering stalking catatan harian anak Suaka di luar rutinitas mereka menulis berita. Entah itu di blog, tumblr atau sebuah status di media sosial. Tujuanku ada dua kala itu; mengetahui karakter tulisan dan melihat bagaimana perkembangan mereka dalam menulis.
Tapi sayang tidak semua orang suka menulis catatan harian. Begitupun dengan anak Suaka kala itu. Hanya beberapa orang–tak akan disebutkan siapa saja–yang gemar menulis catatan harian. Yang aku tangkap ketika itu, dan sampai sekarang beberapa hal dapat aku simpulkan. Beginilah hasilnya:
Pertama, yang aku ketahui ternyata semakin sering seseorang gemar menulis catatan harian, kemampuan menulis pun makin terasah. Itu terbukti ketika, ada anggota Suaka dulu sering nulis catatan harian panjang, tapi pesan/makna yang disampaikan dari tulisannya belum tersampaikan. Artinya tulisannya masih kosong. Namun sekarang, beberapa yang sering nulis catatan harian, sudah mahir merangkai kata, membuat silogisme, strukturnya renyah, mengalir dan esensinya dapat. Artinya benar bahwa, kesempurnaan itu dihasilkan lewat kebiasaan.
Kedua, ternyata menulis catatan harian mengasah kita untuk menganalisa hal sederhana di keseharian kita untuk dijadikan hal luar biasa. Misalnya, aku siang tadi naik bus Damri. Namun kondisi di bus ketika itu penuh sesak, kemudian jalanan macet, dll. Lalu dari situ kita bisa “meliarkan” pikiran ke fenomena transportasi massal Indonesia dengan kondisi lalu lintas Bandung kenapa bisa macet. Atau contoh lain yang dekat, dosen yang jarang hadir, kemudian di tarik ke runyamnya proses pendidikan, kinerja dosen yang kurang profesional, dan contoh sederhana lainnya. Tentu hal itu bakal menunjang kemampuan kita di bidang jurnalisme. Karena berasal dari keresahan kita, sikap kritis kita, perasaan skeptis, dan yang demikian itu ruhnya seorang jurnalis.
Ketiga, menulis catatan harian–terutama dengan karakter sastrawi, naratif, dan deskriptif–mengasah kemampuan kita membuat feature. Sebab di catatan harian, kita berusaha menggambarkan/menulis ulang kejadian yang telah dilewati untuk bisa divisualkan dalan pikiran pembaca. Misalnya ada anggota Suaka yang baru dari suatu tempat di Bandung, kemudian dia ceritakan bagaimana kondisi tempat itu, runut waktunya, plus dengan suasananya, dll. Ya karakter feature tidak jauh dari seperti itu. Ketika menulis dept news/investigatif news penggambaran suasana liputan, wawancara, raut muka, dan narasi liputan jadi suplemen agar tulisan enak dibaca. Tidak sekedar si A bilang apa, si B bilang begini, lalu ditanggapi oleh si C.
Keempat, dan menjadi kesimpulan terakhir, dengan menulis catatan harian, aku sendiri bisa tahu sejauh mana wawasan seseorang, dan tingkat bacaannya. Sebagai contoh sering kita melihat ada catatan harian, lalu disandarkan pada pendapat seorang. Jika kalian sering membaca kiran “PR” di headline kolom sebelah kiri sering ada tulisan Deddy Mulyana (semoga tidak salah menulis nama) yang kerap kali mengangkat kejadian sederhana di keseharian kita, lalu disandarkan pada fenomena politik, ekonomi, budaya dll Indonesia yang sedang berkembang. Ia juga sering menyandingkan cerita sejarah dulu dan diangkat pada kejadian sekarang.
Ya begitulah kira-kira manfaat menulis catatan harian. Memang tulisan ini hanya pandangan subjektif. Kesimpulan tersebut juga masih dangkal. Tapi semoga bisa bermanfaat agar kita jadi “terangsang” kembali untuk giat menulis catatan harian. Ingat dalam setiap catatan kita nanti, tidak sekedar menulis indah, tapi harus ada pesan apa yang akan disampaikan. Jujur, aku sendiri menulis ini agak kesulitan, sebab sudah jarang nulis, tidak se-instens dulu.
Selamat menulis