Monday, October 10, 2016

Sukabumi, dan Cerita Bersama Wartawan Media Lokal


Kita barangkali sering mendengar istilah ini, “Belajar bisa didapat dari siapa saja, dan dari hal yang sederhana.” Jika ditelaah lebih mendalam, ungkapan itu sebetulnya mengandung nilai filosofis yang dalam, bahwa kita sebagai manusia harus terus belajar, walau dalam kondisi apapun, di mana pun, dan dengan siapa pun. Tentu belajar tentang kebermanfaatan atau hal baik.

Nah, ini adalah tulisan saya tentang sebuah pengalaman sederhana menjadi jurnalis di media lokal Sukabumi.

Saya tergolong masih “ingusan” untuk persoalan terjun ke lapangan sebagai jurnalis di media mainstream. Di kampus, saya memang cukup aktif sebagai salah satu pengurus sebuah lembaga pers mahasiswa. Namun hal itu jelas berbeda dengan suasana lapangan sebenarnya dunia wartawan.

Baru-baru ini, saya diberi kesempatan untuk menitih karir sebagai reporter di portal berita sukabumiupdate.com. Saya sebetulnya setengah hati untuk hijrah dari Bandung ke Sukabumi. Mengingat di sana tidak ada relasi wartawan satu pun, dan juga tak terlalu hapal medan liputan. Atau istilah beken di kalangan wartawan, tak kenal pemetaan wilayah.

Saya coba memberanikan diri. Ikhtiar tetap harus dilakukan daripada tidak ada kegiatan setelah lulus kuliah. Daripada nunggu yang tak pasti (panggilan kerja), mending ambil saja kesempatan yang ada. Toh yang namanya hidup harus berproses, mesti dimulai dari nol. Begitupun karir menjadi wartawan. Sangat jarang bagi seorang fresh graduate macam saya, “ujug-ujug” nangkring di media masa nasioanl seperti Kompas, Tempo, Bisnis Indonesia, dan lainnya.

Redaktur saya kang Fitriansyah atau dikenal sebutan “Fit” menempatkan saya di desk Kota Sukabumi. Waktu itu, pihak media menyambut hangat kehadiran saya di sana. Sekedar informasi, sukabumiupdate.com merupakan media start up yang terbilang keren. Baru kira-kira dua bulan berdiri, ratting alexa.com sudah tembus 2.000 (Indonesia). Rata-rata pembacanya, kata kang Fit sehari bisa sampai 25.000 pembaca. Waw, kata saya, ini media meskipun baru lahir cukup potensial dan kuat bersejajar dengan media-media online lain setempat.

Hari pertama bergabung di media itu cukup berkesan. Saya langsung diajak ikut aksi solidaritas bersama para wartawan kontributor di Sukabumi. Kenapa demikian, sebab saat itu sedang booming isu pemukulan oknum TNI kepada kontributor NET TV di Madiun. Seorang jurnalis kontributor NET TV Sukabumi, Panji ikut membantu secara moril dengan mengadakan aksi solidaritas di Sukabumi.

Saat itulah momen yang pas bagi saya untuk berkenalan dengan jurnalis-jurnalis di Sukabumi. Ternyata daerah Sukabumi punya sisi jual berita yang bagus juga, wartawan di sini cukup banyak juga. Hampir sebagaian media nasioanl punya kontributor Sukabumi seperti Kompas TV, Kompas.com, Republika, Tempo, Net TV, RTV, RCTI (MNC) dan lainnya. Sama kang Fit saya pun disuruh langsung menulis aksi itu dan dimuat sebagai berita pertama saya di sukabumiupdate.com hehe. Lumayan.

Hari-hari berikutnya, saya jalani dengan lancer beberapa liputan. Tentunya, namanya wartawan di daerah isu-isu bagus amat jarang. Paling yang paling bagus rattingnya adalah berita tentang bencana, dan kriminal. Sisanya kita mesit pandai-pandai mencari isu yang bagus. Tapi beruntung bagi saya waktu itu, tiap hari selalu ada berkah dari setiap musibah. Istilanya, mencari berkah dari musibah.

Belajar dari Pak Budiyanto
Perkenalkan, jurnalis yang satu ini bernama Budiyanto. Saya biasa sebut beliau Pak Budi karena sudah senior (usia), dan pengalamannya sudah banyak. Perkenalan pertama saya sama beliau adalah ketika sedang meliput bersama kasus vaksinasi. Soal kasusnya, baca saja di sukabumiupdate yah hehe. Beliau ini tampilan nyentrik, tak seperti wartawan kebanyakan. Tubuhnya tambun, berkumis, berjanggot, rambut gondorng, berkacama, dan selalu berpakaian kummel. Mungkin kalau Anda kenal sepintas, mungkin kalian akan mengira beliau wartawan media Tempo (Tempo nulis- tempo tidak).

Tapi justru sebaliknya, dia seperti bergelar “kasepuhan” di kalangan jurnalis di Sukabumi. Pak Budi saya pikir orangnya cukup kritis, komunikasinya bagus, dan punya relasi yang banyak. Beberapa kali liputan ke tempat baru, selalu saja ada satu-dua orang dia kenal. Lalu ngobrol panjang soal a, b, c , d bla bla. Aduh tapi saya lupa ngobrol lebih dalam umurnya berapa, dan punya anak berapa. Penting gak sih, enggak terlalu ya. Yang penting soal Pak Budi ya pada cerita berikut ini.

Oke. Pak Budi adalah kontributor Kompas.com. Kalau tidak salah, untuk kontributor Kompas.com dibayarnya per berita yakni Rp 30.000. Perlu kalian ketahui, HU Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV itu berbeda manajemen. Jadi gaji mereka pastilah berbeda-berbeda.

Saya sebenarnya baru tiga kali liputan bareng beliau. Tapi banyak ilmu yang sudah bisa diserap. Terutama tentang melobi, ngobrol atau komunikasi. Wartawan itu ternyata modal utama yang harus dimiliki selain bisa menulis berita adalah melobi. Karena dari situlah data untuk bahan tulisan (untuk wartawan tulis) didapat. Beberapa kali liputan, beliah lah yang selalu menjadi orang pertama yang membuka pembicaraan dengan narasumber. Saya jujur tidak terlalu berani, sebab kata Pa Budi, untuk urusan konfirmasi isu-isu sensitive hendaknya diawali oleh media yang punya pengaruh. Selain pak Budi kadang sama Kang Panji Net TV, dan Abang dari Kompas TV.

Enaknya jika liputan bareng wartawan media nasional, adalah penerimaan yang baik dari narasumber, dan akses yang gampang.  Masih soal liputan kasus vaksinasi, saya bersama rekan-rekan wartawan lain mencoba konfirmasi ke daerah yang lumayan jauh dari Kota Sukabumi. Bahkan sampai saya harus lintas desk ke Kabupaten Sukabumi untuk bertemu Kepada Dinkes di sana.

Saat perburuan narasumber itulah, saya mendapat sebuah trik ala Pak Budi untuk tembus ke ruangan narasumber. Jadi ceritanya, ketika itu, kami kesulitan untuk menghubungi kepada Dinkes Kab Sukabumi, Nomor teleponnya tiba-tiba mendadak tidak aktif. Akhirnya, pak Budi mengeluarkan triknya, yakni datang langsung ke kantor Dinkes. Tiba di kantor, kita ngobrol soal rencana liputan ke satpam. Namun satpam itu berdalih, tidak melihat keberadaan narasumber yang sedang dicari. Pak Budi kemudian menelpon, dan ternyata tersambung. Kata Pa Budi, kepada Satpam kita disuruh nunggu di ruangannya.

Bersama rekan wartawan lainnya, kita merasa heran. Kenapa sama Pak Budi nomornya aktif, sementara tadi di telpon tidak aktif. Pak Budi senyum-senyum kecil mencurigakan. Haha ternyata yang dia lakukan itu trik untuk mengelabui petugas satpam. Dengan begitu, kendati narasumber susah membuat jadwal, kita sudah menunggu di ruangannya. Lumayan cerdas, sampai-sampai kami pun yang jadi wartawannya juga ikut tertipu. Akhirnya tak lama berselang, narasumber sudah datang, dan sedikit merasa kaget atas kedatangan kami. Mau tidak mau, dia tak bisa nolak, dan langsung menerima kedatangan kami untuk dimintai konfirmasi.

Membangun Jaringan Lewat Nongkrong
Bagi seorang wartawan baru, relasi dengan wartawan lain pasti masih sedikit. Makanya kita mesti pandai-pandai memperoleh relasi itu. Salah satu caranya yakni dengan kita SKSD (Sok Kenal Sok Deket). Tapi saya tergolong orang yang kurang bisa begitu. Trik saya adalah dengan nongkrong bareng, dan traktir ngopi. Memang perlu sedikit modal, tapi kalau tidak begitu, arus informasi liputan bisa susah. Intinya harus sering ngumpul bareng dengan wartawan lain.

Kebetulan, di Kota Sukabumi ada salah satu tempat nongkrong para wartawan namanya Bude. Pertama kali ke tempat itu, saya pikir wartawan di Sukabumi cukup hedon. Karena tempat itu tidak lain sebuah kafe. Tapi ternyata bukan di kafe-nya melainkan di samping kafe ada sebuah warung kopi kecil, dan sebuah gerobak gorengan. Biasanya wartawan sering melepas lelah di sana. Ngopi bareng sambil ngobrol ngaler ngidul.

Kata Pa Budi, tempat itu dulunya warung nasi. Nama pemiliknya biasa dipanggil Bude. Di sana juga ada warnet. Letaknya lumayan strategis tepat di tengah-tengah kota. Cukup representatif untuk wartawan tulis dan tv mengolah bahan setelah beres liputan. Tapi sayang, kini tempat itu dibeli oleh orang Jakarta untuk dibikin kafe. Karena barangkali sudah punya nama, dan tidak ada tempat lain, sampai sekarang tempat itu masih tetap dijadikan lokasi ngumpul para wartawan.

Saya juga walaupun masih baru, selalu nongkrong di sana setelah beres liputan. Enak tidak enak, suka tidak suka, dengan begitu saya bisa lebih dekat dengan wartawan lain.

Selain nongkrong, salah satu cara agar bisa dekat dengan wartawan lain adalah men-cc berita hasil liputan ke wartawan lain. Misalnya, saya punya rekaman narasumber, nah kalau ada wartawan lain telat kita tawarkan rekaman saya. Atau kalau ada yang minta bahan, jangan pelit untuk ngasih. Sebab nanti suatu saat, kita pun bisa telat datang dan tak punya bahan. Intinya saling membantu satu sama lain. Karena kita juga tahu susah senangnya jadi wartawan seperti apa.

Tapi memang, prinsip ketergantungan pada wartawan lain buat minta bahan jangan terlalu sering dilakukan. Sebab bisa membuat kita tak produktif liputan, dan jadi pemalas. Fenomena seperti ini memang sudah tak aneh lagi. Bahkan tidak hanya bahan tulis, ternyata sistem minta bahan video untuk TV juga ada.

Selain itu, sebetulnya ada banyak pengalaman lain saat menjadi jurnalis media lokal selama satu minggu ini. Saya pun minta maaf kepada Kang Fit karena baru seminggu liputan sudah ijin ke Bandung lagi karena ada yang harus diurus, dan kebetulan sedang ada panggilan kerja media di Bandung. Oke Sukabumi, ini bukan perpisahan, sampai ketemu lagi, terima kasih atas pengalamannya.

Akirnya saya ingin mengatakan, proses belajar yang efektif itu tidak hanya melulu di kelas. Tapi harus ditopang juga dengan pengalaman di luar kelas. Selamat mencoba jadi wartawan, mari kita liputan lagi. Belajarlah terus sampai mati!