Thursday, July 14, 2016

Pasar Tanggeung, Relokasi, dan Suara Hati Pedagang

Akhir-akhir ini, wacana relokasi pasar dan penggusuran sering menghiasi pemberitaan media massa. Terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Alasannya tidak lain karena demi keindahan (red: kebersihan) dan menghapus kemacetan.

Seolah tidak mau kalah, di sebuah kampung yang jauh dari perkotaan, relokasi juga terjadi. Tepatnya terjadi di Desa Tanggeung, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Semula, kawasan terminal Tanggeung dan sebagian daerah Desa Kertajaya setiap Senin dan Kamis selalu terdapat pasar tumpah. Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun silam.

Semenjak ibu saya lahir, dan sekarang berusia 50 tahun, pasar tumpah di Tanggeung sudah ada. Namun sekarang, kehadiran pasar tumpah di Tanggeung harus rela direlokasi. Kehadiran pasar sebetulnya sudah melekat dalam keseharian masyarakat di sini. Biasanya banyak orang memanfaatkan kehadiran pasar tersebut sebagai sumber mencari rezeki. Perputaran uang dengan sekala besar terjadi di pasar ini. Mulai dari tukang ojeg, pedagang asin, sayur, buah-buahan, pakaian, toko, sembako, kuli panggul, tukang parkir, warung nasi, dan pemerintah itu sendiri. Bayangkan, banyak orang tentunya menggantungkan hidupnya di pasar tumpah Tanggeung.

Kini para pedagang yang biasa memasarkan dagangannya di pinggir jalan, harus rela pindah lapak. Pemerintah setempat sudah membuat area khusus bagi para pedagang untuk berdagang. Namun beberepa kali direlokasi, masih saja ada sejumlah pedagang yang “ngeyel” berjualan di area terlarang, yaitu di bahu jalan di perbatasan antara Desa Tanggeung dan Desa Kertajaya.

Banyak pedagang berasalasan, tempat yang sempit, dan kurangnya pemasukan, membuat mereka ogah untuk pindah. Termasuk yang dialami ibu saya. Biasanya ia sering memanfaatkan pasar tumpah Senin dan Kamis untuk berjualan makanan. Pendapatannya ya, lumayan bisa menghidupi tiga orang anak.

Kebijakan pemindahan area lokasi pasar Tanggeung berdasarkan yang saya amati, mengacu pada Perundangan-undangan tentang Ketertiban dan Kemanan Berlalulintas. Polisi adalah pihak yang paling semangat untuk merelokasi para pedagang. Berkali-kali mereka mengajak para pedagang untuk pindah. Tapi saya tidak mau suudzon dari relokasi, apakah aparat keamanan mendapat jatah atau tidak. Saya acungi jempol, sebab kali ini relokasi berlangsung tanpa kekerasan. Walaupun banyak selentingan, pihak terkait bisa itu Polisi atau Satpol PP atau yang lainnya, sudah “pasang kuda-kuda” akan melakukan tindakan represif, kalau ada pedangang yang keukeuh tak mau relokasi. Yah, wong cilik macam kami, takutlah diburak-barik petugas.

Menurut informasi yang saya dapat, kehadiran pasar tumpah di Tanggeung menimbulkan kemacetan karena terganggunya lalu lintas kendaraan dari arah Kertajaya ke Desa Tanggeung.

Ya itu memang benar. Akan tetapi sebetulnya ada alternatif jalan melalui Pengkolan Beureum ke Pasko. Cuman, salah pemerintah sendiri ogah memperbaiki jalan tersebut sehingga rusak dan susah dilalui kendaraan. Baiklah, mari kita sejenak tinjau keberadaan pasar tumpah di kota-kota besar. Setahu saya, pasar tumpah yang tidak setiap hari terjadi itu, juga marak di Bandung. Misalnya, di Soreang, setiap hari Minggu ada pasar tumpah, di Cibiru juga ada pasar tumpah di daerah dekat Manglayang, Dago, beberapa daerah di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, dan daerah lainnya.

Nyatanya, di kota-kota besar, keberadaan pasar tumpah juga ada. Bahkan menghiasi jalan-jalan protokol. Lantas mengapa di Tanggeung, keberadaan pasar tumpah begitu dikecam sampai-sampai harus direlokasi? Kira-kira itulah pertanyaan saya selama ini dan sejumlah pedagang lainnya.

Jika saya lihat dari sudut pandang subjektif, jelas relokasi pasar Tanggeung menimbulkan kurangnya pendapatan dari para pedagang termasuk yang dirasakan ibu saya belakang ini. Namun secara objektif, saya harus mengatakan bahwa langkah pemerintah setempat sudah benar. Akan tetapi kurang tepat.

Alasannya yang pertama, pemerintah melupakan situasi dan kondisi tempat di mana relokasi pasar itu terjadi. Misalnya seperti rekayasa lalu lintas. Bagi saya asumsi bahwa dengan merelokasi pasar menimbulkan ketertiban lalu lintas tidak begitu kuat, sebab tetap selama pasar ada, aktivitas kendaraan akan terpusat di pasar, dengan begitu, jumlah kendaraan akan memadat dan menimbulkan kemacetan. Belum lagi yang parkir liar. Mau tidak mau, ya tetap kendaraan terparkir di bahu jalan, sebab tidak ada lagi tempat untuk parkir kendaraan.

Kedua, banyak pedagang dan pembeli yang mengeluhkan tempat relokasi pasar kurang strategis dan tempatnya terlalu kecil untuk menampung puluhan pedagang. Belum lagi, ekses dari itu yakni pemasukan yang menjadi sedikit. Beda halnya ketika pasar tumpah di bahu jalan, kadang ada yang sampai habis dagangannya dengan omzet puluhan juta. Mungkin ini baru ujicoba sih, lama-lama pedagang dan pembeli akan terbiasa dengan kondisi itu. Tapi mungkin ya.

Ketiga, menurut saya relokasi pasar Tanggeung telah memonopoli pendapatan dari dua desa yang biasanya menjadi langganan pasar tumpah di Tanggeung. Tentu saja, dengan relokasi ke wilayah Desa Tanggeung, membuat pemasuka terhadap Desa Kertajaya tidak ada. Padahal Desa Kertajaya sudah langganan tempat para pedagang berjualan bertahun-tahun. Harusnya menurut saya, ada pembagian tempat antara dua desa tersebut. Sehingga pemasukan terhadap kas desa tetap ada. Bukan malah, Desa Kertajaya hanya mendapat “ampas” karena pedagang dan pembeli kerap kali parkir di wilayah Kertajaya.

Entahlah, dalam sebuah sistem dan kebijakan, memang tidak ada yang sempurna. Pro dan kontra kerap kali terjadi. Tugas yang harus dilakukan selaku pengelola pasar sekarang adalah mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Bukan semata “namprak” memunguat biaya sewa tempat. Ya, pada akhirnya, tulisan ini hanya sekadar memuat opini yang berserakan dari para pelaku usaha seperti tukang ojeg, pedagang, pembeliyang sering memanfaatkan kehadiran pasar. Termasuk dari ibu saya sendiri, dan pak Lurah. Tidak ada sekecil pun rasa tendensius pada pihak manapun. Seperti kata Pram, kita mesti adil sejak dalam pikiran.

Terima kasih…

Wednesday, July 13, 2016

Merawat Ingatan di Rawa Sukamanah



Mandi di sungai, dan di rawa. Main layangan di terik matahari, sepedahan sampai kaki pada lecet. Sebagian ingatan di kala kecil itu paling membekas dalam ingatan saya. Namun dari sekian banyak kenangan di waktu bocah itu, saya kerucutkan pada kenangan bermain di rawa.

Ya, di Tanggeung, tempat tinggal saya punya sebuah rawa, dengan nama Rawa Sukamanah. Warna airnya biru kehijau-hijauan. Di sebelah utaranya di kelilingi pegunungan dan pesawahan. Di sisi selatan adalah rumah warga.

Biasanya mayoritas aktivitas masyarakat di sekitar rawa adalah memancing. Tradisi dibalut hobi ini terus turun temurun sampai sekarang. Anehnya, bukan hasil yang diincar tapi proses mendapatkan hasil berupa ikan itu sendiri. Padahal ikan hasil tangkapan para pemancing tak besar-besar amat, pun ikannya pada kecil. Tapi mereka selalu bilang “da ieumah karesep”.

Filosofi para pemancing terkadang di luar nalar. Mereka rela dari pagi sampai ketemu pagi hanya nongkrong di pinggir rawa. Memelototi “umbul-umbul” mereka apakah ada ikan yang makan ikan atau tidak.

Tapi saya tidak melakukan hal itu. Jujur saja mancing bukanlah hobi saya, karena sejak dulu saya tidak bisa memancing. Yang sering saya lakukan di Rawa Sukamanah ialah renang dan mencari Kijing atau Remis.

Kalian tentu tahu kan apa itu Kijing dan Remis. Itu adalah hewan sekeluarga dengan kerang, namun hidupnya biasanya di rawa-rawa. Renang di rawa adalah hal yang mengasyikan. Beda dengan di sungai, resiko tenggelam di rawa lebih kecil. Melalui kegiatan yang biasanya dilakukan  saat libur sekolah inilah membuat saya merindukan masa-masa kecil dulu.

Seorang pemancing sedang melakukan aktivias memancing di Rawa Sukamanah. Tempat ini memang seringkali dijadikan objek memancing bagi warga sekitar.

Merawat Ingatan

Libur hari raya Idhul Fitri, biasanya dijadikan momen untuk berlibur. Sebagai lagi, memilih untuk kumpul barang bersama teman lama di kampong. Termasuk yang dilakukan oleh saya bersama teman-teman SD dulu. Momen lebaran, biasanya mereka selalu mudik, dan di saat itulah biasanya kita sering berkumpul untuk sekedar “ngaliwet” atau kongkow.

Kali ini, kami berinisiatif untuk mencari tempat kumpul di sekitaran Tanggeung. Tempat itu jatuh pada Rawa Sukamanah. Lokasinya tidak jauh dari terminal Tanggeung, hanya saja jalannya yang kurang mulus membuat perjalanan jadi lama. Di Rawa Sukamanah merupakan tempat yang asyik untuk menyendiri. Suasananya sepi, jauh dari hingar bingar. Cocoklah buat muda-mudi yang sedang menjalin asmara. Eits hati-hati, jangan kebablasan, ingat syariat Islam!

Waktu kecil saya biasanya ke sini bersama rombongan anak-anak yang lain menggunakan motor. Atau biasanya sambil lari pagi di hari Minggu. Tempat favorit di Rawa Sukamanah ialah jembatan dari pipa besi. BIasanya saya sering mandi dan mencari Kijing di sini. Dulu sih Kijing masih banyak di jumpai, cara ngambilnya gampang-gampang susah. Kita hanya perlu meraba dengan kaki mencari Kijing, kalau sudah terasa, baru diambil oleh tangan. Kadang hasilnya bisa dapat sekarung, atau sekeresek saja. Tergantung dari seberapa kuat kita lama berendam di dalam air.

Di Rawa Sukamanah, kita juga bisa bermain rakit-rakitan ke tengah rawa. Asik bukan!

Konon, ada yang pernah dapat Kijing sebesar piring. Tapi ya, itu memang harus dilakukan agak ke tengah rawa. Resikonya adalah tenggelam karena makin ke tengah, main dalam. Kalau sudah selesai mencari Kijing atau remis, saya biasanya langsung pulang untuk diolah sambil ngeliwet bersama kawan-kawan yang lain.

Bagi saya ketika itu, kegiatan main di rawa merupakan hal yang sangat mengasyikan. Ya, mengasyikan sebab beban hidup hanya perut lapar, besok Senin harus kembali sekolah, dan uang jajan yang kecil. Mau bagaimana lagi, hidup adalah tentang berproses dari satu masa ke masa yang lain. Bahkan juga dari satu dimensi ke dimensi lain. Tinggal saat ini adalah waktunya kita bersyukur atas pengalaman yang pernah dimiliki sejak kecil. Mungkin bagi anak-anak di kota sana, momen yang saya rasakan sangat sulit untuk didapat.

Berbahagialah mereka yang masa muda menyenangkan, bersyukurlah mereka yang masa tuanya tetap bisa merawat ingatan tentang masa kecil.