Akhir-akhir ini, wacana relokasi pasar dan penggusuran sering menghiasi pemberitaan media massa. Terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Alasannya tidak lain karena demi keindahan (red: kebersihan) dan menghapus kemacetan.
Seolah tidak mau kalah, di sebuah kampung yang jauh dari perkotaan, relokasi juga terjadi. Tepatnya terjadi di Desa Tanggeung, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Semula, kawasan terminal Tanggeung dan sebagian daerah Desa Kertajaya setiap Senin dan Kamis selalu terdapat pasar tumpah. Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun silam.
Semenjak ibu saya lahir, dan sekarang berusia 50 tahun, pasar tumpah di Tanggeung sudah ada. Namun sekarang, kehadiran pasar tumpah di Tanggeung harus rela direlokasi. Kehadiran pasar sebetulnya sudah melekat dalam keseharian masyarakat di sini. Biasanya banyak orang memanfaatkan kehadiran pasar tersebut sebagai sumber mencari rezeki. Perputaran uang dengan sekala besar terjadi di pasar ini. Mulai dari tukang ojeg, pedagang asin, sayur, buah-buahan, pakaian, toko, sembako, kuli panggul, tukang parkir, warung nasi, dan pemerintah itu sendiri. Bayangkan, banyak orang tentunya menggantungkan hidupnya di pasar tumpah Tanggeung.
Kini para pedagang yang biasa memasarkan dagangannya di pinggir jalan, harus rela pindah lapak. Pemerintah setempat sudah membuat area khusus bagi para pedagang untuk berdagang. Namun beberepa kali direlokasi, masih saja ada sejumlah pedagang yang “ngeyel” berjualan di area terlarang, yaitu di bahu jalan di perbatasan antara Desa Tanggeung dan Desa Kertajaya.
Banyak pedagang berasalasan, tempat yang sempit, dan kurangnya pemasukan, membuat mereka ogah untuk pindah. Termasuk yang dialami ibu saya. Biasanya ia sering memanfaatkan pasar tumpah Senin dan Kamis untuk berjualan makanan. Pendapatannya ya, lumayan bisa menghidupi tiga orang anak.
Kebijakan pemindahan area lokasi pasar Tanggeung berdasarkan yang saya amati, mengacu pada Perundangan-undangan tentang Ketertiban dan Kemanan Berlalulintas. Polisi adalah pihak yang paling semangat untuk merelokasi para pedagang. Berkali-kali mereka mengajak para pedagang untuk pindah. Tapi saya tidak mau suudzon dari relokasi, apakah aparat keamanan mendapat jatah atau tidak. Saya acungi jempol, sebab kali ini relokasi berlangsung tanpa kekerasan. Walaupun banyak selentingan, pihak terkait bisa itu Polisi atau Satpol PP atau yang lainnya, sudah “pasang kuda-kuda” akan melakukan tindakan represif, kalau ada pedangang yang keukeuh tak mau relokasi. Yah, wong cilik macam kami, takutlah diburak-barik petugas.
Menurut informasi yang saya dapat, kehadiran pasar tumpah di Tanggeung menimbulkan kemacetan karena terganggunya lalu lintas kendaraan dari arah Kertajaya ke Desa Tanggeung.
Ya itu memang benar. Akan tetapi sebetulnya ada alternatif jalan melalui Pengkolan Beureum ke Pasko. Cuman, salah pemerintah sendiri ogah memperbaiki jalan tersebut sehingga rusak dan susah dilalui kendaraan. Baiklah, mari kita sejenak tinjau keberadaan pasar tumpah di kota-kota besar. Setahu saya, pasar tumpah yang tidak setiap hari terjadi itu, juga marak di Bandung. Misalnya, di Soreang, setiap hari Minggu ada pasar tumpah, di Cibiru juga ada pasar tumpah di daerah dekat Manglayang, Dago, beberapa daerah di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, dan daerah lainnya.
Nyatanya, di kota-kota besar, keberadaan pasar tumpah juga ada. Bahkan menghiasi jalan-jalan protokol. Lantas mengapa di Tanggeung, keberadaan pasar tumpah begitu dikecam sampai-sampai harus direlokasi? Kira-kira itulah pertanyaan saya selama ini dan sejumlah pedagang lainnya.
Jika saya lihat dari sudut pandang subjektif, jelas relokasi pasar Tanggeung menimbulkan kurangnya pendapatan dari para pedagang termasuk yang dirasakan ibu saya belakang ini. Namun secara objektif, saya harus mengatakan bahwa langkah pemerintah setempat sudah benar. Akan tetapi kurang tepat.
Alasannya yang pertama, pemerintah melupakan situasi dan kondisi tempat di mana relokasi pasar itu terjadi. Misalnya seperti rekayasa lalu lintas. Bagi saya asumsi bahwa dengan merelokasi pasar menimbulkan ketertiban lalu lintas tidak begitu kuat, sebab tetap selama pasar ada, aktivitas kendaraan akan terpusat di pasar, dengan begitu, jumlah kendaraan akan memadat dan menimbulkan kemacetan. Belum lagi yang parkir liar. Mau tidak mau, ya tetap kendaraan terparkir di bahu jalan, sebab tidak ada lagi tempat untuk parkir kendaraan.
Kedua, banyak pedagang dan pembeli yang mengeluhkan tempat relokasi pasar kurang strategis dan tempatnya terlalu kecil untuk menampung puluhan pedagang. Belum lagi, ekses dari itu yakni pemasukan yang menjadi sedikit. Beda halnya ketika pasar tumpah di bahu jalan, kadang ada yang sampai habis dagangannya dengan omzet puluhan juta. Mungkin ini baru ujicoba sih, lama-lama pedagang dan pembeli akan terbiasa dengan kondisi itu. Tapi mungkin ya.
Ketiga, menurut saya relokasi pasar Tanggeung telah memonopoli pendapatan dari dua desa yang biasanya menjadi langganan pasar tumpah di Tanggeung. Tentu saja, dengan relokasi ke wilayah Desa Tanggeung, membuat pemasuka terhadap Desa Kertajaya tidak ada. Padahal Desa Kertajaya sudah langganan tempat para pedagang berjualan bertahun-tahun. Harusnya menurut saya, ada pembagian tempat antara dua desa tersebut. Sehingga pemasukan terhadap kas desa tetap ada. Bukan malah, Desa Kertajaya hanya mendapat “ampas” karena pedagang dan pembeli kerap kali parkir di wilayah Kertajaya.
Entahlah, dalam sebuah sistem dan kebijakan, memang tidak ada yang sempurna. Pro dan kontra kerap kali terjadi. Tugas yang harus dilakukan selaku pengelola pasar sekarang adalah mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Bukan semata “namprak” memunguat biaya sewa tempat. Ya, pada akhirnya, tulisan ini hanya sekadar memuat opini yang berserakan dari para pelaku usaha seperti tukang ojeg, pedagang, pembeliyang sering memanfaatkan kehadiran pasar. Termasuk dari ibu saya sendiri, dan pak Lurah. Tidak ada sekecil pun rasa tendensius pada pihak manapun. Seperti kata Pram, kita mesti adil sejak dalam pikiran.
Terima kasih…
No comments:
Post a Comment