Sumber foto: Antara |
Seorang pria tengah sibuk memukul-mukul besi alumunium. Dengan cekatan, dibentuklah alumunium itu menjadi sebuah langseng. Ukurannya beragam, ada yang dari yang terkecil 5 liter sampai yang terbesar yaitu 20 liter.
Itulah kegiatan sehari-sehari yang dilakukan oleh Mamat Rahmat, 59 tahun, warga Desa Paledang, Kecamatan Cileunyi Kulon, Kabupaten Bandung atau lebih terkenal dengan sebutan Kampung Lanseng. Jika berkunjung ke tempat itu, suara “trang, trang, trang sepanjang jalan” akan menghiasi telinga. Wajar, sejak dulu, warga di kampung itu sudah turun temurun membuat langseng.
Namun, lain dulu lain sekarang, menurut Rahmat, kini keberadaan pembuat langseng semakin sulit di kampungnya. Sebab kebanyakan sudah beralih profesi. “Katanya bosen biki langseng terus, pengen ada suasana baru,” kata Ramhat saat ditemui di kediamannya, Sabtu, 22 Agustus 2015.
Di tempatnya, kata Rahmat, kini sudah sedikit memproduksi langseng sendiri oleh pekerja, dan lebih diberikan kepada pembuat langseng rumahan yang mengambil bahannya dari Rahmat. “Jadi yang sistemnya orang ngambil bahan di sini, nanti udah jadi di balikin, dibayar per langseng,” jelas lelaki berkumis itu.
Menurut Rahmat, dalam sehari tak menentu banyaknya langseng diproduksi, “Kalau manual paling 15-25 set per hari,” ujarnya. Dalam satu set langseng tersebut ada tiga jenis ukuran, yaitu kecil, besar dan kecil. Adapun setiapnya setnya, kata Rahmat dijual sebesar Rp 75.000. “Itu harga asli dari sini, yang jualnya mah beda lagi, tergantung yang jual.”
Rahmat menuturkan, dulu antara tahun 2000-2005, waktu sedang rame-ramenya, setiap rumah memproduksi langseng. Kini, yang tersisa hanya 8-10 rumah produksi yang setiap hari produktif membuat langseng. Hal itu berimbas pada penjualan, sebab persediaan langseng kini menjadi tak tentu karena sulitnya pekerja.
“Kalau dulu, biasanya dalam seminggu 2-3 kali ngirim barang pake truck. Sekarang paling sebulan dua kali ngirim,” kata Rahmat yang sudah memproduksi langseng selama 10 tahun. Untuk menyiasati hal itu, selain menmbuat langseng ia pun berjualan domba.
Selain itu, tertatih-tatihnya usaha langseng Rahmat yakni karena banyak penjual yang mengambil barang darinya tidak setor. Akibatnya, jika dikumpul-kumpul kurang lebih Rp 1 miliar uang setor dari penjual belum juga ia terima. “Mereka pada pesen sekian set, eh ga balik lagi. Malahan, ada yang keluarganya di sini (kampung langseng) belum balik-balik,” ucapnya.
Rahmat mengatakan, pemasaran langsengnya hampir menyebar ke di Indonesia mulai dari Padang, Lombok, Lampung, Pulau Jawa, sampai Papua. Oleh karenya ia tidak sembarangan memberi langseng ke penjual, lebih memilih kepaa orang kenal dan mempunyai jaminan. Selain langseng di “kampong kaleng” itu juga memproduksi panic, kompor, kaleng, oven dan lainnya.
Sejarah dinamai Kampung Langseng, katanya, sudah ada sekitar 20 tahun lalu. Dimulai ketika ada salah seorang warga yang membuat langseng lalu sukses, kemudian diikuti oleh warga lainnya sampai setiap rumah memproduksi langseng. “Waktu itu permintaan langseng sedang banyak juga,” ujarnya.
Untuk membuat langseng sendiri, ada beberapa tahap yang dikerjakan. Pertama sebuah lempeng dibuat pola sesuai dengan ukuran-ukuran. Kemudian dibentuk dengan dipukul-pukul, menjadi sebuah langseng. Makanya, saat berkunjung ke Kampung Langseng, suara-suara “teng, teng, teng” akan selalu terdengar.
Kini, usaha Rahmat beserta rekan-rekannya sesame pembuat langseng sedang tertatih-tatih. Meski begitu ia tetap berharap agar para pembuat langseng di Kampung Langseng tetap ada.
No comments:
Post a Comment