Pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh UKM Women Study Center (WSC) UIN SGD Bandung, Kamis, 21 April 2016, salah seorang pemateri Dr Neng Hannah menyampaikan materi tentang kekerasan dalam pacaran. Tema itu menjadi menarik untuk disimak, sebab selama ini kita hanya tahu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saja, ternyata dalam lingkup pacaran pun ada.
Istilah itu memang tidak mengada-ngada, sebab berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada Maret 2016, menyebutkan bahwa kekerasan dalam pacaran menempati urutan kedua setelah KDRT di Bandung, yakni lebih dari 2.000 kasus (saya lupa lagi angka tepatnya). Data tersebut tentu mesti jadi perhatian bagi kita, sebab sudah bisa dikategorikan sebagai persoalan yang serius.
Neng Hannah memulai materinya dengan sebuah percakapan bersama seorang mahasiswi yang curhat kepadanya tentang pengalaman berpacaran. Perempuan itu bilang, saat ini dirinya ingin dinikahi pacarnya. Lalu Neng Hannah bertanya, mengapa Anda ingin dinikahi? Jawaban perempuan itu mengejutkan, karena pacarnya telah melecehkannya secara seksual.
Lalu keresahan mahasiswi itu mencuat karena setelah dilecehkan secara seksual, pacarnya tiba-tiba lost contact. Padahal pacar mahasiswi itu sudah berjanji akan bertanggung jawab pada semua tindakan yang telah ia lakukan. Saya hanya bisa mengelus dada mendengar yang disampaikan Neng Hannah. Mungkin sebagian di antara kita sudah tidak asing lagi mendengar cerita demikian.
Menurut Neng Hannah, pelecehan seksual bisa termasuk kepada kekerasan dalam pacaran. Sebab biasanya, kegiatan tersebut bisa hasil dari kemauan (paksaan) salah satu pasangan untuk membuktikan seberapa besar cinta yang ia miliki terhadap pasangannya. Selain itu kekerasan dalam pacaran juga terjadi dalam aspek fisik (pemukulan, digampar, dll), psikologis (berkenaan dengan tekanan kejiwaan, misalnya pasangan yang emosionalnya tinggi, keras kepala, egois tinggi, yang membuat kita membatin), dan materi (bisa ketika pasangan kita memaksa membelikan sesuatu).
Mendengar yang disampaikan Neng Hannah saya ketawa sendiri. Kenapa? Karena saya juga pernah mengalami pacaran (catat: pernah bukan sering). Bahkan sering kali, ketika pacaran, untuk pembuktian cinta saya rela hujan-hujanan, panas-panasan untuk antarjemput. Mentraktir makan, atau membelikan sesuatu. Tapi saya tak begitu mempermasalahkan, selama itu masih dalam batas wajar dan kita mampu menyanggupi. Hehe..
Lalu bagaimana solusi kongkrit dari permasalahan kekerasan dalam pacaran? Perlu kita ketahui, bahwa tidak ada regulasi yang mengatur soal kekerasan pacaran, yang ada hanya aturan untuk KDRT. Terus bagaimana? Jawabannya yakni berhentilah untuk pacaran. Mengapa demikian sebab dalam wacana Islam, tidak ada istilah pacaran.
Lalu bagaimana dengan Taaruf? Menurut Neng Hannah, Taaruf memang ada dalam Islam, bertujuan kepada kita untuk saling mengenal satu sama lain. Namun tidak ada fiqih yang menjelaskan secara lebih lanjut bagaimana itu Taaruf dalam konteks berhubungan antara lawan jenis. Sehingga Taaruf sering kali jadi casing berbeda, namun isinya tetap sama dengan pacaran. Artinya hanya beda nama. “Kalau mau menjalin hubungan, lebih baik khitbah,” kata Neng Hannah.
Secara prinsip, saya sepakat dengan yang disampaikan Neng Hannah. Namun ya tetap, dalam konteks sosiologis pacaran sudah menjadi hal yang lumrah, sulit untuk menghindari keberadaannya. Budaya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Lagi-lagi ini kembali kepada diri kita masing-masing bagaimana menyikapi pacaran.
Jika dihadapkan pada persoalan ini, kita memang mesti arif dalam menyikapinya. Menurut saya, pacaran memang kurang baik. Walaupun ada sisi positifnya, tetapi sisi negatifnya lebih banyak. Akan tetapi, karena sudah menjadi hal lumrah, yang sulit untuk dihindarkan di masyarakat, kita perlu membatasi diri pada hal-hal yang positifnya saja. Apa saja itu? Entahlah saya sendiri juga bingung apa hal positif yang dihasilkan dari pacaran. Ketika pacaran sudah merangsek pada hal kurang baik (misalnya kekerasan dalam pacaran) lebih baik kita tanggalkan status pacaran.
Ada yang salah memang dari masyarakat kita, yakni sering kali mengolok-ngolok setiap orang yang tidak pacaran (Baca: jomblo atau single). Padahal stereotype itu tidaklah benar. Menurut saya jomblo atau single pada masa remaja (puber), itu jauh lebih baik daripada kita berpacaran tapi malah terjebak pada hal-hal yang negatif. Bagi saya, yang menjadi persoalan di sini hanya status sosial. Lalu apakah karena kita jomblo/single, tidak bisa mendapat beasiswa, IPK jadi di bawah rata-rata, sulit melamar pekerjaan, tidak punya penghasilan, dll. Kan tidak demikian. Justru yang ada adalah motivasi diri kita makin tinggi, sebagai upaya untuk memantaskan diri meminang lawan jenis.
Teman saya punya konsep berhubungan begini, jika memang di antara kita ada yang suka pada lawan jenis, alangkah lebih baik jika itu diungkapkan. Tapi jangan sampai berujung pada pacaran, karena nantinya setelah pacaran akan ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku. Ketika sudah mengungkapkan perasaan dan respon yang sama suka dari lawan jenis, syukur-syukur langsung mengkhitbah. Tapi kalau belum siap, maka cobalah untuk membuat kesepakatan saling percaya sampai khitbah. Maksudnya adalah dalam proses menuju khitbah itulah masing-masing dari kita berusaha memantaskan diri. Proses taaruf dalam konteks yang benar pun terjadi di sana. Kalau saya menafsirkannya dalam bahasa beken sebagai hubungan tanpa status. Tapi bukan PHP, karena masing-masing sudah memberi kepastian: berkhitbah.
Cara ini memang agak aneh, tapi boleh dijadikan referensi dalam berhubungan. Entahlah saya juga bingung, soal begini saya bukan pakarnya. Tapi yang jelas, perlu saya ulangi dalam wacana Islam, tidak ada yang namanya pacaran. Dan pacaran, karena kehadirannya sudah menjadi hal yang sulit dihindari, kita mesti arif menyikapinya. Jangan sampai kita terjebak pada pacaran yang menimbulkan ekses negatif.
Wallahualam. Terima kasih, semoga menginspirasi.