Siang itu, Siska (9) sedang duduk di sebuah trotoar di sekitaran Jalan Riau, Bandung. Ia sedang menunggu lampu merah menyala. Di perempatan jalan itu ia dengan gigih memikul cobek sambil menjajakannya kepada beberapa orang yang lewat atau kepada pengemudi mobil di kala lampu merah menyala.
Gadis kecil bertubuh kurus, berambut agak merah muda ini tak seorang diri berjualan. Ia ditemani adik laki-lakinya yang berumur empat tahun berjualan cobek. Cobek yang ia jual dihargai dari mulai Rp 15.000 sampai Rp.25.000 per buahnya.
“Dalam sehari biasanya hanya laku dua cobek. Itu pun jarang laku, biasanya dapat uang dari pemberian orang lain yang merasa kasihan,” tutur Siska dalam bahasa Sunda, Minggu (30/4).
Saat ini Siska duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Ia biasa berjualan cobek di saat hari libur sekolah sehingga tak menganggu rutinitas belajarnya. Setiap jualan, Siska yang bercita-cita menjadi dokter ini sanggup memikul cobek sampai berpuluh-puluh kilometer dengan hanya
berjalan kaki. Meski terbilang berat, namun wajahnya tak memperlihatkan rasa lelah untuk terus memikul cobek.
Kakinya kotor penuh dengan tanah. Beberapa luka gores menandakan betapa kerasnya ia menjalani hidupnya sebagai seorang anak penjual cobek. Punggungnya yang agak membungkuk ketika memikul cobek tidak membuat bocah ini rendah hati.
Pandangan lurus ke depan dan senyuman yang sesekali ia munculkan di antara pipinya yang coklat, menggambarkan bahwa bocah ini adalah orang yang sabar dan kuat.
Siska mengaku sudah berjualan cobek sejak satu setengah tahun yang lalu. Awalnya, tutur Siska, ia diajak oleh teman-teman sebaya yang senasib dengannya. Karena Siska ingin membantu kedua orangtuanya, maka ia pun berani berdagang cobek di kota dan ikut mengajak adiknya yang masih kecil.
Tidak ada paksaan dari kedua orangtua Siska, ia sadar betul penghasilan ayahnya seorang buruh bangunan dan ibunya yang seorang buruh cuci tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
“Jualan cobek teh hayang ngabantu ka mamah, karunya si mamah (Jualan cobek untuk membantu ibu, kasihan ibu,” ujar Siska.
Siska dan adiknya tinggal di daerah Padalarang. Ia dan teman-temannya sesama penjual cobek biasa naik kereta untuk berjualan cobek di Bandung. Cobek yang ia jual bukan buatan orangtuanya, tetapi dari seorang juragan cobek yang berada di Padalarang.
“Biasanya berangkat dari Padalarang jam lima subuh, dan pulang jam lima sore,” ujar Siska.
Hasil yang ia bawa jika dua cobeknya terjual hanya duapuluh lima ribu rupiah, itupun uangnya harus disetorkan dulu ke juragan cobek. Walaupun hasil yang ia peroleh hanya sedikit tapi Siska tetap bersyukur dapat membantu kedua orangtuanya. “Kalau cobek-cobeknya tak terjual biasanya suka dibawa pulang kembali,” ungkapnya.
Siska adalah cerminan dari tingkat kemiskinan di negeri ini yang masih tinggi. Seorang anak yang harusnya belajar dan asik bermain di usianya itu, malah harus berjuang untuk bertahan dari kerasnya kehidupan. Di luar sana tentu masih banyak Siska-siska yang lain, yang punya keinginan untuk bisa bermain dan belajar seperti anak-anak pada umumnya.[] Adi Permana
#Feature
No comments:
Post a Comment