Saturday, April 12, 2014

Membenahi Tata Ruang Kota Bandung

Banjir di Baleedah/Tempo.co


BANDUNG -- Buruknya tata ruang di Kota Bandung masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung seolah tak pernah beres menyelesaikan permasalahan itu. Banyak dampak yang terasa dari semrawutnya penataan kota. Seperti banjir dan kemacetan lalu lintas yang hingga kini masih jadi masalah klasik yang sering dijumpai. 

Tidaknya hanya itu, dampak pada lingkungan pun begitu terasa. Dari data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung saat ini masih dikisaran sembilan persen. Jauh dari aturan yang seharusnya 30 persen. Akibat dari kurangnya RTH itu, tentunya tingkat polusi di Kota Bandung akan semakin bertambah. Bahkan, tempat yang seharusnya menjadi sumber-sumber resapan air beralih fungsi jadi industri komersialisasi. Kehadiran hutan kota pun sudah mulai berubah jadi hutan beton.

Penempatan bangunan yang tidak sesuai aturan juga harus menjadi perhatian penuh Pemkot Bandung. Selain Pemkot, dinas-dinas terkait pun harus punya tanggung jawab penuh untuk membenahi masalah tata ruang. Bila tidak, maka masalah yang baru akan terus bermunculan. 

“Kota Bandung merupakan sebuah kota yang mulai mempunyai permasalahan kompleks,  terutama dalam transportasi dan tata letak perumahan. Ketika permasalahan ini terjadi, maka permasalahan-permasalahan lainnya pun akan muncul,” ujar Ridwansyah Yusuf Ahmad, Pakar Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) saat ditemui di kampus ITB, Senin (10/3).

Kesemrawutan tata ruang Kota Bandung juga tak pernah lepas dari perencanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana. Seperti yang diungkapkan Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Dwi Sawung. Menurut Sawung, tata ruang sekarang lebih disesuaikan dengan kondisi yang ada. Tidak ada zona-zona khusus untuk
penempatan bangunan, yang ada hanya dicampur. Akibatnya, kata Sawung, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Bandung sangat kurang. 

Ketika ditanya mengenai perkembangan penataan Kota Bandung oleh Pemkot dan dinas-dinas terkait, Sawung berpendapat bahwa sejauh ini pemerintah belum ada perkembangan yang signifikan terhadap pengololaan tata ruang. 

“Sejauh ini tata kelola ruang di Bandung masih  sama, belum ada perubahan. Malah di sepuluh tahun terkahir semakin menurun. Kalau kita lihat dari pantauan udara, bisa terlihat dari tata ruang itu kebanyakannya perumahan,” tuturnya.

Menanggapi permasalahan tersebut, wartawan kemudian mencoba mendatangi kantor Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung di jalan Cianjur no. 43, Bandung. Namun dari pihak dinas justru sulit untuk dimintai tanggapan akan permasalahan itu. 

“Mohon maaf kalau mau wawancara masalah tata ruang harus ada surat pengantar resmi dari Pemkot. Soalnya kami (dinas) berada di bawah Pemkot,” ujar bagian pelayanan kepada kru wartawan saat akan wawancara. 

Sementara itu, Ridwansyah menilai bahwa tata ruang tidak disesuaikan dengan lingkungan yang ada. “Kota Bandung kini berangsur-angsur menjadi kota yang besar, seharusnya pembangunan rumah huni di kota Bandung menggunakan sistem pembangunan vertikal  empat lantai, sehingga bisa menghemat ruang dan dapat menjadi  solusi agar mengurangi ketidakteraturan dalam tata letak kota,” ungkapnya. 

Dampak Ekologi

Permasalahan tata ruang kota yang semrawut juga akan berdampak pada lingkungan (ekologi). Seperti banjir karena hilangnya lahan-lahan resapan air yang beralih fungsi jadi lahan industri. Juga banyak hal lainnya seperti pencemaran udara, sampah dan air. 

Mengenai permasalahan itu, dosen  Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Angga Dwiartama menjelaskan bahwa bentuk Bandung sendiri merupakan sebuah cekungan. Yang menjadi titik perhatian Bandung mengenai tata ruang, supaya tidak banjir, kata Angga, adalah mempertahankan daerah-daerah resapan air seperti daerah Lembang dan Ciwidey.

“Menurut saya, isu yang penting di Bandung adalah bagaimana caranya untuk mempertahannkan daerah resapan tersebut. Jadi tidak ada lagi air yang mengalir ke dataran rendah yang menyebabkan banjir seperti di daerah Bandung selatan,” tutur Angga saat ditemui di kampus ITB, Selasa (11/3).

Ia menambahkan, perihal penataan ruang di Bandung sendiri sudah jelas. Di mana daerah resapan air, daerah permukiman dan daerah komersil. Akan tetapi, katanya, pada prakteknya banyak daerah pemukiman atau daerah hijau yang dibangun menjadi apartemen. 

“Dengan disalahgunakannya lahan tersebut, maka munculah berbagai masalah, seperti pencemaran lingkungan dan sistem serapan air serta munculah masalah baru seperti dampak ekologi pada lingkungan hidup dan sosial, di mana terdapat masyarakat daerah tertentu yang termarjinalkan,” tuturnya. 

Ia pun mencontohkan daerah yang terkena dampak ekologi dan sosial akibat buruknya tata ruang. “Seperti halnya di daerah Dago atas, di mana masyarakat yang berada di sekitar vila-vila mendapat tiga permasalahan. Yang pertama krisis air bersih, yang kedua masalah pencemaran, dan yang terakhir ketidakmerataan ekonomi.”

Hal sama juga dikatakan Dwi Sawung. Menurut Sawung, dampak ekologi dari semrawutnya tata ruang jelas ada. Misalnya dari mulai transportasi yang sering macet di mana-mana, banjir yang sering terjadi, tingkat polusi udara yang masih besar dan penanggulangan sampah yang masih sulit. “Dari data yang Walhi terima, untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung saat ini hanya 9 persen. Jauh dari aturan UU yang seharusnya 30 persen,” ujar Sawung. 

Ihwal dampak ekologi dari permasalahan tata ruang, menurut Sawung, Walhi sejauh ini sudah ada upaya untuk mengatasi masalah itu. Seperti mencegah  Babakan Siliwangi (Baksil) saat akan dijadikan lahan komersial. “Iya, seputar memperjuangkan atura-aturanlah. Seperti dalam aturan RTH seharunya kan 30 persen,” tambahnya.

Sementara bagi Angga, tata ruang kota yang ideal harus memperhatikan drainase. Terutama pembuatan drainase yang baik di titik yang selalu terjadi banjir. Kemudian, lanjutnya, diperbanyaknya tempat sampah dan mengkampanyekan kepada masyarakat untuk buang sampah pada tempatnya.

“Yang terpenting Kesadaran masyarakat itu sendiri, bagaimana untuk menjaga lingkungannya. Untuk orang-orang yang mempunyai halaman di rumahnya alangkah baiknya untuk menanam pohon sebagai sumber oksigen,” ujarnya. 

Ia juga menyarankan agar toko-toko grosir yang besar harus digeser jauh dari pusat kota. Karena di situ aktifitasnya terlalu tinggi sehingga menjadi faktor penyebab kemacetan. Untuk pemukiman sendiri, tambahnya, karena untuk saat ini populasi semakin tinggi, maka 30 persen lahan dari luas pemukiman harus diperuntukan untuk zona hijau.

Perizinan Bangunan

Mudahnya perizinan mendirikan bangunan yang melanggar aturan juga menjadi salah satu sebab kesemrawutan tata ruang Kota Bandung. Seperti dijelaskan Dwi Sawung. Menurut pandangannya, permasalah tata ruang tentu ada sangkut pautnya dengan perizinan bangunan. Sejauh ini, ungkapnya, perizinan seperti terlalu mudah. Banyak yang melanggar aturan, namun tidak ada sangsi yang diberikan. “Seperti di atasnya Baksil, itu sudah mulai dibangun bangunan yang tidak sesuai dengan aturan, itu kan jelas-jelas sudah melanggar,” ujarnya.

Sementara dari pandagan Angga Dwiartama, masalah perizinan bangunan tentu sudah melalui mekanisme yang ketat. Tidak bisa sembarangan. Ia menjelaskan bahwa ada aturan yang jelas. Khususnya untuk usaha, harus ada izin selain dari pemerintah daerah atau provinsi, ada juga dari Balai Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD). “Intinya harus ada kajian lingkungannya,” katanya.

Kajian lingkungan tersebut, kata Angga, meliputi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya  Pemantauan Lingkungan. 

“Akan tetapi masih ada yang menyalahi aturan, seperti di daerah Dago Atas yang berdiri kokoh dua bangunan hotel yang memiliki belasan lantai. Itu tidak sesuai dengan Amdal, karena mengambil sumber air masyarakat setempat dan banyak pula warga sekitar yang protes karena dengan adanya bangunan tersebut, sering terjadi longsor dan  jumlah air yang biasa digunakan warga sekitar berkurang karena diambil oleh hotel tersebut,” jelasnya.

Namun ketika menanggapi permasalahn perizinan itu kepada Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung, di jalan Cianjur, Bandung, Jumat (7/3). Lagi-lagi kami tak mendapatkan data karena pihak BPPT tidak memberikan izin untuk bertemu dengan kepala BPPT. Dengan alasan yang sama, pihak  BPPT menegaskan jika ingin wawancara, harus secara resmi mendapat dari Pemkot Bandung melalui surat jalan resmi.

Dari penelusuran yang dilakukan kepada salah satu perumahan di Bandung, yakni Perumahan Bumi Adipura yang dibangun oleh PT. Multidaya Kharisma Gedebage, Bandung diproleh prihal proses izin mendirikan bangunan. Menurut salah satu tim pengembang Perumahan Bumi Adipura, Tjetjep Tjumena mengatakan bahwa dalam perizinannya tidak susah dan tidak juga tidak mudah. “Mudah jika persyaratan lengkap dan susah jika tidak lengkap,” katanya saat di temui di kantornya, Kamis (13/11).

Tjetjep menambahkan, jika lokasi sebelumnya bukan diperuntukan rumah akan sulit untuk dijadikan perumahan, tapi jika memang sudah awalnya diperuntukan rumah maka mudah untuk pembangunan.

Sementara dari pengakuan Abbas, salah satu warga Kp. Sukamanah yang berdampingan dengan Komplek Perumahan Batu Nunggal, Buah Batu, Kota Bandung menuturkan bahwa kehadiran perumahan tidak ada pengaruh terhadap kehidupannya. Justru yang ia rasakan yakni dampak positif. “Biasa-biasa saja tidak ada pengaruh,” tuturnya, Senin (10/3).

Ia menceritakan bahwa sebelumnya lahan yang dijadikan perumahan adalah lahan pesawahan. Masyarakat banyak yang bekerja di sawah itu, namun setelah dibangun perumahan, kata Abbas, warga menjadi tak punya pekerjaan. 

Dari permasalahan mengenai tata ruang Kota Bandung saat ini, harapan kepada Pemkot dan dinas-dinas terkait untuk membenahi permasalah tata ruang tentu masih ada. Seperti yang Dwi Sawung harapkan, agar dinas-dinas terkait untuk lebih memperhatikan terhadap konsep perencanaan kota yang sebelumnya sudah direncanakan. “Jangan hanya mementingkan sebagian orang saja,” pungkasnya.

Sementara bagi Ridwansyah, ia berharap mulai dari sekarang Bandung harus mulai menata dari segi transportasi, pelayan umum, dan tentu saja tata kota. “Jangan dulu menunggu macet dan kesemrawutan itu datang. Itu malah membuat pekerjaan berkalilipat beratnya. Maka pembangunan dan penataan harus dimulai dari sekarang agar keteraturan tercipta dengan sendirinya,” pungkas Ridwansyah. []Adi Permana

#DepthReporting

No comments: