Wednesday, June 19, 2013

Menggapai Asa di Kota Kembang


BEBERAPA minggu sebelum Ujian Nasional, dan satu hari sebelum kakak perempuanku di hitbah, ada ujian berat menimpa keluargaku. Terutama cobaan yang berat bagi kakak perempuanku.
Waktu itu hari Jumat tanggal 17 April 2012, tepat sehari sebelum kakakku di hitbah, Sabtu 18 April 2012. Sebagian sanak keluarga sedang sibuk di dapur memasak bahan-bahan buat persediaan esok. Ayah sedang makan di tengah rumah. Aku sedang membuat pola batik di karton  sebagai tugas akhir pelajaran Seni Budaya. Rumahku dua lantai hasil renovasi sejak aku SD dulu. Lantai atas dari kayu dan lantai bawah permanen. Tiba-tiba ditengah kesibukan orang-orang di dalam rumah, muncul api begitu besar dari lantai atas. Bibi yang pertama melihatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia berteriak,

“kebakaran..kebakaran.” Sambil menyelamatkan barang-barang. Aku sendiri terhentak dan tak percaya setelah mendengar teriakan bibi di dapur sana. Lantai dua hanya bisa dilihat dari dapur. Aku segera berlari ke dapur, menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Betapa amukan yang dahsyat dari sang api. Genteng tiba-tiba berjatuhan di hadapanku. Uap panas seketika memenuhi seluruh ruangan. Dengan tanpa sadar, aku segera bergegas berlari keluar rumah sambil menggendong sebuah Laptop milik temanku yang aku pinjam. Tapi naas, chargerannya aku lupa tertinggal.

Kejadian itu ba’da Sholat Jumat. Hanya beberapa jam saja. Rumahku di lantai dua habis di lalap api. Beruntung waktu itu hujan turun dengan deras. Berbondong-bondong manusia datang berkerumun. Ada yang membantu memadamkan api, ada juga yang berkerumun sambil memasang muka yang tak bisa di tebak. Entah simpati atau empati.
Setelah api padam, kudapati rumahku yang penuh kenangan manis, tempat bercengkrama, bersenda gurau, tempat aku sering dimarahi Ibu karena pulang terlalu sore habis mandi dari sungai, kini tinggal tersisa puing-puing hitam dan tembok-tembok setengah hangus yang memperlihatkan kekokohannya. Aku tengok meja belajar, kudapati pula buku-buku yang mengiringi perjalananku dari SD sampai MA, kini terbujur kaku di beberapa bagian  setengahnya sudah menjadi abu. Pakaian sekolahku habis di makan si Jago Merah. Kasur dan kursi tempatku mencurahkan mimpi dalam tidur kini sudah tak terbentuk. Hanya kayu-kayu penyanggah saja yang terlihat. Langit begitu jelas terlihat dari dalam rumah karena tak ada atap yang menghalangi. Aku sesekali menunduk sambil menangis tersedu.
Beruntung Ayah begitu sigap ketika api sedang berkoar-koar di lantai atas, Ayah sempat mengeluarkan lomari gede tempat Ijazah, pakaian dan barang-barang lain dari dalam rumah. Ijazah adalah seonggok kertas yang amat tak ternilai harganya, hasil buah pikir aku dan kakakku selama menempuh pendidikan. Entah apa yang akan selanjutnya terjadi bila Ijazahku pun lenyap oleh api. Dan pelajaran nomor sekian adalah selalu ada hikmah di balik suatu peristiwa. Sebuah hikmah untukku agar selalu berhati-hati bermain api.
Tak tahu dari mana asal api itu. Selidik demi selidik akhirnya terungkap. Api itu berasal dari korsleting listrik di lantai atas. Beruntung tiada orang di lantai atas waktu itu. Sehingga tak ada korban jiwa yang terkapar.
Tangis tak henti berkurang dari mata Ayah, Ibu, Kakak, Aku dan semua sanak keluarga. Setelah kejadian itu, semua berkumpul di rumah Uwak. Pamanku memberikan petuah untuk tetap sabar dan tabah atas kejadian itu kepada keluargaku, termasuk aku. Lalu setelah semua reda dan tenang, barulah membicarakan ihwal lamaran kakakku. Dan sudah diputuskan untuk tetap berlangsung di esok hari dan yang akan melamar pun berjanji untuk tetap datang meskipun telah terjadi demikian. Acara sudah diputuskan berlangsung di rumah Uwak yang tak jauh dari rumahku.
Rombongan dari keluarga Cimahi akhirnya datang. Calon kakakku yakni Fredy Mulyawan tampak telihat olehku rawut mukanya, senang dibalut sedih pula. Mereka datang dengan tiga mobil
sekaligus. Acara digelar dengan hikmat. Begitu selesai, rombongan pun kembali pulang ke Cimahi, setelah semuanya makan bersama, dan sempat melihat-lihat pula bekas kebakaran kemarin. Maka tiga hari aku ijin sekolah karena tiada baju, dan buku. Sampai akhirnya teman-temanku datang dan memberikan baju dan buku. Ketika aku kembali sekolah, hampir semua murid melihatku dengan tatapan iba. Sebulan lamanya aku tinggal nomaden, dan mencari makan nomaden pula. Sampai akhirnya rumahku kembali dibangun.

Kondisi rumahku saat masih dalam proses
pemabangunan kembali.

Sementara aku, harus bertatih-tatih pula karena harus belajar kurang buku dan banyak pelajaran yang tertinggal. Apalagi sebentar lagi adalah UN. Hampir setiap hari aku menginap dan belajar di rumah teman. Selesai Ujian Nasional dan pelulusan, aku mulai berjalan seperti sediakala. Karena beban yang kurasa sudah hilang. Dengan kondisi yang serba tak ada, buka halangan untukku tetap berkarya.

*****

Kebingungan terbesar kembali hadir di kepala. Aku bingung apakah harus melanjutkan kuliah atau tidak. Pasalnya orangtuaku tak punya banyak duit untuk daftar kuliah. Ada beberapa jalur beasiswa aku tempuh. Salah satunya dari Dompet Dhuafa Jabar. Tapi sayang, rezekiku bukan di sana. Aku bingung harus menentukan jalana hidup kemana. Antara kuliah dan kerja. Tapi sebuah kabar bahagia datang memecah bimbang. Kakakku yang pertama mendesakku untuk harus kuliah. Ia janji akan membiayai daftar masuk. Dan aku mengiyakan saja. Karena itupun yang aku harapkan.
Aku mengambil prodi Olah Raga di UPI lewat SNMPTN, tapi tak sampai tembus. Sampai pada akhirnya langkah kaki ini mengantarkan aku untuk daftar ke sebuah kampus Islam di Cibiru sana. Dari depan kampus kulihat sebuah bangunan yang kokoh, tegap dan bercat hijau. Sepintas seperti gedung sate. Sekarang aku tahu itu adalah gedung Rektorat. Di depan bangunan itu terpampang jelas sebuah tulisan:
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati
Bandung
 Tak salah lagi inilah kampusnya. Aku bersungguh ingin sekali kuliah di sini. Jalur PPA aku coba tapi tetap masih tak tembus. Harapan satu-satunya adalah lewar Jalur Ujian Tulis. Sebuah perjudian antara kuliah atau tidak selalu membayangi pikiranku. Sampai pada suatu pengumuman kelulusan, akhirnya aku lulus, akhirnya aku sampai pada harapan besar itu. Kuliah di kampus UIN Bandung. Menggapai asa di Kota Kembang.
Aku mengambil program S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik. Di bawah naungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Itu adalah pilihan pertamaku di kolom jurusan waktu aku daftar dulu. Tak pernah tebesit sebelumnya untuk kuliah di jurusan itu. Mungkin itulah jalan Allah yang telah menuntunku untuk sampai kesana. Satu semester sudah kulalui dan kurasai ilmu menjadi seorang Mahasiswa yang katanya agent Of change and agent of social control.
Tak pernah aku lewatkan untuk menjadi seorang aktivis di sebuah organisasi. Apalagi untuk di organisasi kampus. Yang ilmunya jauh lebih luas dari pada di MA dulu. Aku memutuskan untuk masuk di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa, yang seranah dengan jurusanku. Yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SUAKA.
Lebih kurang enam bulan lamanya untuk bisa sampai menjadi anggota SUAKA. Setelah aku dilantik dan resmi menjadi anggota, aku mulai merasakan sebuah kehangat dan kenyamanan dari organisasi itu. Itupula yang membuat aku ingin bersungguh di sana. Aku teguk ilmu yang aku peroleh dari berorganisasi. Dan teoriku benar adanya, aku setingkat lebih hebat dari tema-teman sekelasku. Baru aku duduk di semester dua, tapi aku sudah bisa membuat berita Straight News, Depth Reporting dan Feature yang tak diajarkan di semester itu. Wawancara dengan birokrat kampus, bukan hal yang sekali dua kali aku lakukan. Rektor pun aku pernah wawancara dengannya. Dekan dan Ketua Senat adalah sasaran yang empuk untukku ambil opini mereka.
Menjadi mahasiswa sekaligus wartawan kampus, adalah sebuah profesi yang bergairah bagiku. Ada sebuah pertanyaan yang ingin aku lontarkan bagi mereka—mahasiswa—yang tidak berorganisasi. Seberapa besar dan apa yang telah kalian peroleh dari hanya mengandalkan akademisi saja. Dua puluh lima persen adalah angka yang kecil. Aku sendiri, meskipun aktif di organisasi, tapi aku belum merasa ilmu dan pengetahuanku luas. Apalagi mereka yang tidak. Bukannya aku seorang yang fanatik untuk berorganisasi, tapi setidaknya coba buka pikiran kita terhadap kenyataan yang ada. Akademisi saja tidaklah cukup untuk meneguk sedikit dari luasnya ilmu yang diberikan Sang Khalik di semesta ini.
*****

2 comments:

Unknown said...

cocik, api semangat yang membara dan aku turut berduka ..

Adi Permana said...

Makasih kaka udah berkunjung....!!!