BEBERAPA minggu
sebelum Ujian Nasional, dan satu hari sebelum kakak perempuanku di hitbah, ada
ujian berat menimpa keluargaku. Terutama cobaan yang berat bagi kakak
perempuanku.
Waktu
itu hari Jumat tanggal 17 April 2012, tepat sehari sebelum kakakku di hitbah,
Sabtu 18 April 2012. Sebagian sanak keluarga sedang sibuk di dapur memasak
bahan-bahan buat persediaan esok. Ayah sedang makan di tengah rumah. Aku sedang
membuat pola batik di karton sebagai
tugas akhir pelajaran Seni Budaya. Rumahku dua lantai hasil renovasi sejak aku
SD dulu. Lantai atas dari kayu dan lantai bawah permanen. Tiba-tiba ditengah
kesibukan orang-orang di dalam rumah, muncul api begitu besar dari lantai atas.
Bibi yang pertama melihatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia berteriak,
“kebakaran..kebakaran.”
Sambil menyelamatkan barang-barang. Aku sendiri terhentak dan tak percaya
setelah mendengar teriakan bibi di dapur sana. Lantai dua hanya bisa dilihat
dari dapur. Aku segera berlari ke dapur, menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Betapa amukan yang dahsyat dari sang api. Genteng tiba-tiba berjatuhan
di hadapanku. Uap panas seketika memenuhi seluruh ruangan. Dengan tanpa sadar,
aku segera bergegas berlari keluar rumah sambil menggendong sebuah Laptop milik
temanku yang aku pinjam. Tapi naas, chargerannya aku lupa tertinggal.
Kejadian
itu ba’da Sholat Jumat. Hanya beberapa jam saja. Rumahku di lantai dua habis di
lalap api. Beruntung waktu itu hujan turun dengan deras. Berbondong-bondong
manusia datang berkerumun. Ada yang membantu memadamkan api, ada juga yang
berkerumun sambil memasang muka yang tak bisa di tebak. Entah simpati atau
empati.
Setelah
api padam, kudapati rumahku yang penuh kenangan manis, tempat bercengkrama, bersenda
gurau, tempat aku sering dimarahi Ibu karena pulang terlalu sore habis mandi
dari sungai, kini tinggal tersisa puing-puing hitam dan tembok-tembok setengah
hangus yang memperlihatkan kekokohannya. Aku tengok meja belajar, kudapati pula
buku-buku yang mengiringi perjalananku dari SD sampai MA, kini terbujur kaku di
beberapa bagian setengahnya sudah
menjadi abu. Pakaian sekolahku habis di makan si Jago Merah. Kasur dan kursi
tempatku mencurahkan mimpi dalam tidur kini sudah tak terbentuk. Hanya
kayu-kayu penyanggah saja yang terlihat. Langit begitu jelas terlihat dari
dalam rumah karena tak ada atap yang menghalangi. Aku sesekali menunduk sambil
menangis tersedu.
Beruntung
Ayah begitu sigap ketika api sedang berkoar-koar di lantai atas, Ayah sempat
mengeluarkan lomari gede tempat Ijazah, pakaian dan barang-barang lain dari dalam
rumah. Ijazah adalah seonggok kertas yang amat tak ternilai harganya, hasil
buah pikir aku dan kakakku selama menempuh pendidikan. Entah apa yang akan
selanjutnya terjadi bila Ijazahku pun lenyap oleh api. Dan pelajaran nomor
sekian adalah selalu ada hikmah di balik suatu peristiwa. Sebuah hikmah untukku
agar selalu berhati-hati bermain api.
Tak tahu
dari mana asal api itu. Selidik demi selidik akhirnya terungkap. Api itu
berasal dari korsleting listrik di lantai atas. Beruntung tiada orang di lantai
atas waktu itu. Sehingga tak ada korban jiwa yang terkapar.
Tangis
tak henti berkurang dari mata Ayah, Ibu, Kakak, Aku dan semua sanak keluarga.
Setelah kejadian itu, semua berkumpul di rumah Uwak. Pamanku memberikan petuah
untuk tetap sabar dan tabah atas kejadian itu kepada keluargaku, termasuk aku.
Lalu setelah semua reda dan tenang, barulah membicarakan ihwal lamaran kakakku.
Dan sudah diputuskan untuk tetap berlangsung di esok hari dan yang akan melamar
pun berjanji untuk tetap datang meskipun telah terjadi demikian. Acara sudah diputuskan
berlangsung di rumah Uwak yang tak jauh dari rumahku.
Rombongan
dari keluarga Cimahi akhirnya datang. Calon kakakku yakni Fredy Mulyawan tampak
telihat olehku rawut mukanya, senang dibalut sedih pula. Mereka datang dengan
tiga mobil
sekaligus.
Acara digelar dengan hikmat. Begitu selesai, rombongan pun kembali pulang ke
Cimahi, setelah semuanya makan bersama, dan sempat melihat-lihat pula bekas
kebakaran kemarin. Maka tiga hari aku ijin sekolah karena tiada baju, dan buku.
Sampai akhirnya teman-temanku datang dan memberikan baju dan buku. Ketika aku
kembali sekolah, hampir semua murid melihatku dengan tatapan iba. Sebulan
lamanya aku tinggal nomaden, dan mencari makan nomaden pula. Sampai akhirnya
rumahku kembali dibangun.
Kondisi
rumahku saat masih dalam proses
pemabangunan
kembali.
Sementara
aku, harus bertatih-tatih pula karena harus belajar kurang buku dan banyak
pelajaran yang tertinggal. Apalagi sebentar lagi adalah UN. Hampir setiap hari
aku menginap dan belajar di rumah teman. Selesai Ujian Nasional dan pelulusan, aku
mulai berjalan seperti sediakala. Karena beban yang kurasa sudah hilang. Dengan
kondisi yang serba tak ada, buka halangan untukku tetap berkarya.
*****
Kebingungan
terbesar kembali hadir di kepala. Aku bingung apakah harus melanjutkan kuliah
atau tidak. Pasalnya orangtuaku tak punya banyak duit untuk daftar kuliah. Ada
beberapa jalur beasiswa aku tempuh. Salah satunya dari Dompet Dhuafa Jabar.
Tapi sayang, rezekiku bukan di sana. Aku bingung harus menentukan jalana hidup
kemana. Antara kuliah dan kerja. Tapi sebuah kabar bahagia datang memecah
bimbang. Kakakku yang pertama mendesakku untuk harus kuliah. Ia janji akan
membiayai daftar masuk. Dan aku mengiyakan saja. Karena itupun yang aku
harapkan.
Aku
mengambil prodi Olah Raga di UPI lewat SNMPTN, tapi tak sampai tembus. Sampai
pada akhirnya langkah kaki ini mengantarkan aku untuk daftar ke sebuah kampus
Islam di Cibiru sana. Dari depan kampus kulihat sebuah bangunan yang kokoh,
tegap dan bercat hijau. Sepintas seperti gedung sate. Sekarang aku tahu itu adalah
gedung Rektorat. Di depan bangunan itu terpampang jelas sebuah tulisan:
Universitas
Islam Negeri
Sunan
Gunung Djati
Bandung
Tak salah lagi inilah kampusnya. Aku
bersungguh ingin sekali kuliah di sini. Jalur PPA aku coba tapi tetap masih tak
tembus. Harapan satu-satunya adalah lewar Jalur Ujian Tulis. Sebuah perjudian
antara kuliah atau tidak selalu membayangi pikiranku. Sampai pada suatu
pengumuman kelulusan, akhirnya aku lulus, akhirnya aku sampai pada harapan
besar itu. Kuliah di kampus UIN Bandung. Menggapai asa di Kota Kembang.
Aku
mengambil program S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik. Di bawah naungan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Itu adalah pilihan pertamaku di kolom jurusan
waktu aku daftar dulu. Tak pernah tebesit sebelumnya untuk kuliah di jurusan
itu. Mungkin itulah jalan Allah yang telah menuntunku untuk sampai kesana. Satu
semester sudah kulalui dan kurasai ilmu menjadi seorang Mahasiswa yang katanya agent
Of change and agent of social control.
Tak
pernah aku lewatkan untuk menjadi seorang aktivis di sebuah organisasi. Apalagi
untuk di organisasi kampus. Yang ilmunya jauh lebih luas dari pada di MA dulu.
Aku memutuskan untuk masuk di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa, yang seranah
dengan jurusanku. Yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SUAKA.
Lebih
kurang enam bulan lamanya untuk bisa sampai menjadi anggota SUAKA. Setelah aku
dilantik dan resmi menjadi anggota, aku mulai merasakan sebuah kehangat dan
kenyamanan dari organisasi itu. Itupula yang membuat aku ingin bersungguh di
sana. Aku teguk ilmu yang aku peroleh dari berorganisasi. Dan teoriku benar
adanya, aku setingkat lebih hebat dari tema-teman sekelasku. Baru aku duduk di
semester dua, tapi aku sudah bisa membuat berita Straight News, Depth Reporting
dan Feature yang tak diajarkan di semester itu. Wawancara dengan birokrat
kampus, bukan hal yang sekali dua kali aku lakukan. Rektor pun aku pernah
wawancara dengannya. Dekan dan Ketua Senat adalah sasaran yang empuk untukku
ambil opini mereka.
Menjadi
mahasiswa sekaligus wartawan kampus, adalah sebuah profesi yang bergairah
bagiku. Ada sebuah pertanyaan yang ingin aku lontarkan
bagi mereka—mahasiswa—yang tidak berorganisasi. Seberapa besar dan apa yang
telah kalian peroleh dari hanya mengandalkan akademisi saja. Dua puluh lima
persen adalah angka yang kecil. Aku sendiri, meskipun aktif di organisasi, tapi
aku belum merasa ilmu dan pengetahuanku luas. Apalagi mereka yang tidak. Bukannya
aku seorang yang fanatik untuk berorganisasi, tapi setidaknya coba buka pikiran
kita terhadap kenyataan yang ada. Akademisi saja tidaklah cukup untuk meneguk
sedikit dari luasnya ilmu yang diberikan Sang Khalik di semesta ini.
*****
2 comments:
cocik, api semangat yang membara dan aku turut berduka ..
Makasih kaka udah berkunjung....!!!
Post a Comment