Sebuah malam yang cukup dingin. Hujan tadi sore sepertinya membawa kabar gembira bagi sebagian kehidupan di bumi, namun tidak dengan diriku. Niat awal ingin melepas penat dengan berkeringat di tempat lari, urung dilakukan.
Pada sebuah ruangan berbentuk jajar genjang yang sering kusebut ‘Kamar Peradaban’ ini, aku melawati malam yang tak biasanya. Ada sihir yang menghisap egoku pada kumpulan kata-kata. Malam ini, gumamku, aku ingin menghabiskan waktu bersama kawan lama yang jarang terjamahi–akibat kalah pamor dengan modernisasi, sambil mengutuk diri akibat banyak janji yang berkarat.
Malam ini memang tak biasanya. Entah karena hidupku akhir-akhir memang tak beraturan, atau karena banyak sebab lainnya, ketika menemukan lembaran berisi banyak pesan, petuah, koreksi hidup, dan sindiran, itu semuanya seperti tertuju padaku. Ibarat atlet tinju jarang latihan, yang tiba-tiba disuruh tanding: banyak sekali titik kelemahan.
Tapi syukurlah, dengan begitu aku menyadari posisiku saat ini. Tuhan memang Maha Asyik, menyelipkan kesempatan bagiku untuk merenung sejenak di kala akal dan hati tidak harmonis, tidak singkrong dan dipenuhi rasa was-was. Setelah kutelisik, ternyata terjadi subduksi antara hayalan dengan kenyataan yang jika suatu waktu melepaskan energi, bakal merusak pondasi kehidupan yang sudah kubangun dengan susah payah ini.
No comments:
Post a Comment