Foto: Asep wartawan Antara |
Mengunjungi Observatorium Bosscha memutar memori saya pada film “Petualangan Sherina”. Bedanya, Sherina ketika itu sedang berlibur, kalau saya sedang kerja lembur.
Pada Sabtu (3/11) sore itu, langit Kota Bandung memang sedang mendung. Kunjungan ke Bosscha ini dalam rangka Media Gathering Humas ITB 2018. Jika sebelum-sebelumnya saya selalu jadi peserta acara media gathering–sebab masih jadi wartawan, kali ini saya menjadi panitia. Lumayanlah pengalaman baru. Begitu tiba di Bosscha, hujan deras diiringi kabut menyambut kedatangan rombonga ke sebuah kompleks seluas lebih kurang 6 hektar lebih itu.
Mengunjungi Bosscha adalah kali pertama bagi saya, sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Dalam tulisan ini, saya tak akan banyak membicarakan tentang apa itu Bosscha, kegiatannya ngapain aja dan cerita detail tentang perjalan yang sudah dilakukan.
Sebagai pengetahuan, Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium besar di Indonesia. Berada di bawah naungan FMIPA-ITB, lembaga riset ini menjadi pusat penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia. Bosscha memiliki 12 teleskop yang masih aktif melakukan pengamatan bintang di angkasa.
Dari sekian banyak teleskop yang dimiliki Bosscha, ada satu teleskop yang menjadi icon dan pusat perhatian semua orang yaitu Teleskop Zeiss. Teleskop raksasa ini usianya sudah 90 tahun, berat 17 ton, dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik sejak diresmikan sampai sekarang. (Lebih lengkap dapat dibaca http://bosscha.itb.ac.id)
Selain tour berkeliling ke beberapa teleskop koleksi Bosscha, pengalaman yang berharga bagi saya adalah mendengarkan ceramah/presentasi dari Kepala Bosscha, Dra. Premana Wardayanti Premadi, Ph.D. Ia seorang ilmuan perempuan dari Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA-ITB. Bu Nana, begitu ia akrab disapa, sangat dikenal oleh dunia karena namanya dipakai untuk benda di angkasa, yaitu Asteroid 12937 Premadi.
Paparan yang paling menarik dan menyentuh dari Bu Nana ialah ketika menjelaskan tentang alam semesta. Di luar sana, ada ratusan, jutaan, bahkan mungkin lebih dari ratusan juta miliar bintang di alam semesta. Atas fakta itu, manusia sebetulnya hanya bagian yang sangat kecil dari alam semesta ini. Pada posisi ini, seharusnya manusia sadar tak ada yang patut disombongkan.
Mendengar ceramah ini, saya menjadi ingat saat naik gunung. Jika berada di puncaknya, kita bisa melihat dengan jelas ke langit begitu luasnya semesta sementara ketika melihat ke bawah hanya terlihat titik-titik kecil. Sebuah tadabbur alam yang baik untuk melihat posisi kita di alam semesta ini.
Menurut Bu Nana, manusia sudah mulai sulit “berhubungan” dengan alam semesta. Hal itu disebabkan karena polusi cahaya yang menghalangi kita melihat benda-benda langit di malam hari.
Ia menceritakan kesedihannya ketika bertanya kepada anak-anak di Jakarta, berapa jumlah bintang di langit? Anak-anak tersebut menjawab ada tiga! Mereka tidak bisa melihat bintang yang jumlahnya miliaran karena terhalang polusi cahaya.
Padahal orang zaman dulu, sangat terjalin “hubungannya” dengan alam. Sebelum ditemukan peta, benda-benda langit di angkasa selalu dipakai sebagai petunjuk arah dan waktu.
Sebagai refleksi, kita sekarang bahkan sulit menunjukkan di mana barat dan timur tanpa menggunakan handphone atau alat lainnya. Padahal sebetulnya sangat mudah hanya dengan melihat terbit-tenggelamnya matahari. Tapi karena banyak gedung yang menjulang tinggi kita tak bisa indahnya matahari terbit dan tenggelam, atau karena setiap pagi dan sorenya kita hanya sibuk dalam kemacetan kota. “Ada lampu merah kita malah buka hp, kapan kita berinteraksi dengan alamnya?” begitu kira-kira inti yang disampaikan Bu Nana.
Akibat dari polusi cahaya juga banyak mengganggu aktivitas pengamatan bintang di Bosscha. Makanya sekarang pemerintah membangun Observatorium Kupang agar pengamatan dapat dilakukan lebih baik. Bu Nana juga mengajak kepada kita agar bijak dalam menggunakan cahaya, jangan sampai cahayanya bocor kemana-mana. Berikut contoh yang bisa kita lakukan:
Itulah sedikit cerita dari Bosscha. Mohon maaf karena baru dipublish sekarang. Mudah-mudahan ada hikmah yang bisa dipetik. Sekian.
No comments:
Post a Comment