Foto ilustrasi main game (sumber: internet) |
Game online adalah bagian dari teknologi. Saya tak tahu kapan pertama kali istilah itu hadir. Cikal bakalnya tentu saja sejalan dengan kehadiran internet. Karena teknologi adalah alat, maka game online hanyalah alat yang membantu manusia mencapai kebahagiaan (sesaat).
Saat ini banyak sekali aplikasi game online. Semuanya mudah untuk diakses apalagi ketika telepon pintar muncul dengan sistem android. Pengguna smartphone bisa dengan leluasa mengunduh berbagai jenis game online di play store milik google atau AppStore milik iPhone.
Sebagai teknologi, game online tidak bisa menjadi baik atau buruk. Itu ditentukan oleh penggunanya. Namun saya kira, akhir-akhir ini pengguna game online perlu disentil sebab sudah “isrof” dalam menggunakannya.
Lihatlah, banyak generasi harapan bangsa atau yang sering kita sebut generasi milenial habis waktu produktifnya hanya untuk bermain game online sejak bangun tidur, siang hari, di kala senggang, sebelum tidur dan waktu-waktu luang lainnya. Kapan mereka belajarnya?
Padahal di depan sana, mereka akan menghadapi tantangan bonus demografi. Kelak, mereka mau bersaing dengan kemampuan apa kalau kesehariannya hanya disibukkan dengan game online. Padahal permainan sebenarnya adalah membawa bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lainnya di bidang ekonomi, politik, teknologi, pendidikan dan bidang lainnya. Atau rela-rela saja dikalahkan buruh bermata sipit?
Jika generasi muda dan kaum-kaum terpelajar lain waktunya hanya dihabiskan dengan bermain game online, saya tak menemukan perbedaan mereka dengan para “tukang” yang sama-sama bermain game online. Mungkin yang beda hanyalah, para “tukang” dapat kuota hasil jerih payah sendiri, dan generasi muda yang terpelajar dapat kuota dari ibu-bapaknya. Nauzubillah, mudah-mudahan tidak semiris itu. 😥
Dalam kitab suci umat Islam, telah terang benderang dijelaskan bahwa yang namanya menyia-nyiakan waktu adalah perbuatan merugi. Dalam pepatah Barat, waktu adalah uang.
Lihatlah Bung Hatta semasa kecil yang hidupnya dihabiskan di surau untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu lainnya. Setelah dewasa ia tak lepas dari buku, dan banyak menghasilkan karya-karya lewat tulisannya.
Makanya tak salah jika kita mudah dipermainkan orang lain. Wong kesehariannya dipermainkan oleh game. Kalau begini terus ya lambat laut kita hanya bisa menciptakan generasi dungu yang gugup menghadapi dinamika perkembangan zaman.
Mungkin perlu ada upaya lain dalam menanggulanginya jika generasi muda ini “hese dipapatahan”. Makanya, jika Tuhan menghendaki saya menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), maka yang pertama saya lakukan ialah memblokir keberadaan game online, terlebih terhadap game MOBA di Indonesia. Mengapa harus dari jabatan menteri? Sebab yang namanya peradaban bisa ditentukan lewat siapa yang berkuasa.
Tapi itu tindakan yang kurang bijak juga sebetulnya, karena banyak orang juga bergantung hidupnya lewat game online. Contohnya para Gamer YouTube. Selain itu, banyak pula start-up di Indonesa melirik game sebagai ladang usaha mereka. Sekali lagi saya ingin bilang, bahwa game hanyalah alat. Gunakanlah secara bijak, jangan sampai lupa waktu, dan kelewatan batas.
Kalau ada yang mau sharing, dan punya solusi lain. Monggo kasih komentarnya. Sekian.
*Tulisan ini hanyalah refleksi diri. Sebuah ajakan mari gunakan teknologi secukupnya.
*Ditulis Mei 2018
No comments:
Post a Comment