Setiap gunung mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dengan gunung-gunung lain. Pasti akan ada kisah dan pengalaman baru setiap kali kita mendaki gunung yang berbeda. Mungkin itulah yang aku rasakan saat mendaki gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Di gunung itu, aku banyak mendapat pelajaran berharga, soal persahabatan, cita, cinta, emosi dan sabar. Yang kesemuanya tidak aku temui saat aku mendaki beberapa gunung lain.
Cikuray adalah gunung ke-5 yang telah menghiasi petualanganku dalam pendakian. Sebelumnya aku sudah menjajaki Manglayang, Ciremai, Gede dan Papandayan. Gunung ini merupakan gunung tertinggi ke-4 di Jawa Barat. Setelah Gunung Ciremai, Pangrango dan Gede.
Berada di ketinggian 2821 Mdpl, tidak menjadikan gunung ini mudah untuk didaki. Meski ketinggiannya kurang dari 3000 Mdpl tapi track yang dilalui lumayan berat. Kalau dari segi karakteristik gunung, sepertinya tak jauh berbeda dengan Ciremai. Makanya ada tradisi setelah dari Cikuray harus merasakan Gunung Ciremai.
Aku memang hobi mendaki gunung, walaupun hobi ini bisa dibilang tidak murah dan mudah. Oleh karena itu gunung-gunung di sekitaran Jawa Barat saja yang jadi destinasi. Kali ini aku ditemai 5 teman berbeda dari gunung-gunung sebelumnya. Adalah Ahmad Rijal, Muhamad Tomi (Charly), Donny Iqbal (Saldeng), Rahayu Pratidina dan Syifa S Khaerani. Yang dua orang perempuan itu dari Universitas Pasundan, Bandung. Sisanya anak UI Negeri Bandung, yang kebetulan satu jurusan, yakni Jurusan Ilmu Buruh Tinta.
Penasaran dengan kisah petualangan kami di Cikuray, langsung saja ini dia kisahnya. Lets Cek it out!
Selasa, 17 Juni 2014
Perjalanan dimulai setelah semua personel berkumpul di kontrakan kumuh di daerah Gang Kujang, Cipadung, Cibiru. Nama kontrakannya tak usah disebutkan, takut jadi kampanye hitam . Yang jelas penghuninya sudah bercerai berai untuk mudik dan aku ditinggalkan sendiri, sementara barang-barang kosan masih banyak yang harus dibereskan. Ditambah lagi masa berlaku dihuni sudah habis akhir Juni.
Sudah cukup curhatnya. Kembali pada perjalanan pendakian. Kami berangkat ke Garut menggunakan motor. Sekitar pukul 15.00 kami berangkat. Baru di depan kampus, hujan deras sudah turun. Dengan terpaksa kami harus berteduh dulu di warung pinggir kampus.
Aku memang hobi mendaki gunung, walaupun hobi ini bisa dibilang tidak murah dan mudah. Oleh karena itu gunung-gunung di sekitaran Jawa Barat saja yang jadi destinasi. Kali ini aku ditemai 5 teman berbeda dari gunung-gunung sebelumnya. Adalah Ahmad Rijal, Muhamad Tomi (Charly), Donny Iqbal (Saldeng), Rahayu Pratidina dan Syifa S Khaerani. Yang dua orang perempuan itu dari Universitas Pasundan, Bandung. Sisanya anak UI Negeri Bandung, yang kebetulan satu jurusan, yakni Jurusan Ilmu Buruh Tinta.
Penasaran dengan kisah petualangan kami di Cikuray, langsung saja ini dia kisahnya. Lets Cek it out!
Selasa, 17 Juni 2014
Perjalanan dimulai setelah semua personel berkumpul di kontrakan kumuh di daerah Gang Kujang, Cipadung, Cibiru. Nama kontrakannya tak usah disebutkan, takut jadi kampanye hitam . Yang jelas penghuninya sudah bercerai berai untuk mudik dan aku ditinggalkan sendiri, sementara barang-barang kosan masih banyak yang harus dibereskan. Ditambah lagi masa berlaku dihuni sudah habis akhir Juni.
Sudah cukup curhatnya. Kembali pada perjalanan pendakian. Kami berangkat ke Garut menggunakan motor. Sekitar pukul 15.00 kami berangkat. Baru di depan kampus, hujan deras sudah turun. Dengan terpaksa kami harus berteduh dulu di warung pinggir kampus.
Waktu terus bergulir, tapi hujan tak kunjung reda. Kami akhirnya terpaksa melanjutkan perjalanan dengan mengenakan jas hujan. Selama perjalanan menuju Garut, hujan terus menghiasi perjalanan. Bahkan semakin deras, lumayan menambah romantis perjalanan.
“Hujan memang romantis, padanya selain butiran air juga terdapat butiran makna.
Hujan selalu turun meski ia dihantam petir dan gemuruh langit, betapa ia sungguh berani dan punya tekad kuat.
Dalam peralihannya, ketika ia menguap ke langit, kemudian meluruh, dan membasahi bumi ada pesan yang tersirat bahwa hiduap adalah proses. Dan hidup selalu beralih dari satu fase ke fase yang lain. “
Kami kemalaman di perjalanan menuju Garut, kami tiba di kota yang terkenal dengan Dodol itu sekitar pukul 17.00. Rencana awalnya kami akan langsung ke lokasi pendakian, yakni pos Pemancar. Tapi dengan kondisi basah kuyuk dan hujan, rencana kemudian berubah. Kami akhirnya memutuskan untuk menginap di kosan teman si Iqbal. Lumayan ada lapak untuk mendengkur. Beruntung pula, karena kami dijamu oleh ibu kosan. Ini sih bukan lumayan lagi, tapi luar biasa.
Perjalanan hari ini memang belum seberapa, masih ada petualangan sesungguhnya yang akan dimuali esok hari. Maka malam itu pun kami habiskan dengan bobo cantik secantik-cantiknya bobo.
Rabu, 18 Juni 2014
Pagi mulai memantulkan cahaya, mengetuk mata yang lupa waktu, membiaskan mimpi-mimpi manis. Hujan kemarin sepertinya masih membekas pada genting-genting dan jalanan. Tapi mereka telah menyejukanku pagi ini, di Garut yang dingin. Semoga juga demikian, kamu memang dingin tapi kamu menyejukan.
Setelah packing dan pamitan, kami melanjutkan petualangan. Tapi sejauh mata memangdang, Cikuray tak kunjung tampak. Kabut menyelimutinya dengan tebal. Kami akhirnya tiba di Kec. Cilawu. Tujuan selanjutnya adalah Pos Pemancar, sebagai pintu masuk yang banyak digunakan oleh para pendaki.
Kondisi jalan menuju ke sana lumayan berat, karena selain banyak tanjakan, jalannya juga masih berupa bebatuan besar. Bila tidak menggunakan kendaraan pribadi, tak usah khawatir sebab banyak ojeg yang siap mengantar ke Pos Pemancar. Tapi harus merogoh kocek sebesar Rp 35.000.
Pos Pemancar berupa tempat untuk tower-tower stasiun televisi. Pemandangan sekeliling berupa hamparan kebun teh. Dari pos pemancar, kita bisa melihat Kota Garut gunung-gunung yang mengelilinginya. Setibanya di sana kami sedikit beristirahat karena perjalanan yang lumayan melelahkan. Bagi yang bawa motor, Insya Allah aman karena ada tempat parkir di sekitar Pemancar.
Sebelum melakukan pendakian, kami mendaftarkan diri terlebih dulu di sebuah pos di sebelah kiri Pemancar, dan membayar seikhlasnya. Sebelum ke pemancar, kami melalui jalan disebut orang jalur tiket, dengan membayar Rp 5000,- untuk pengunjung dan motor. Sekadar saran, bagi yang mau ke Ckuray lebih baik memakai jalur tanpa tiket, lokasinya bisa bertanya pada penduduk di sekitar sana. Sebab rute yang dilalui lebih dekat dan jalannya pun tidak terlalu berat.
Pukul 10.30, pendakian dimulai. jalur yang kami lewati pertama yakni tanjakan dengan latar kebun teh. Tapi baru beberapa menit meninggalkan Pemancar, Ayu sapaan Rahayu sudah terkapar. Dia bilang sudah tidak kuat. Padahal masih ada 8 pos di depan sana. Sebagai orang yang baru pertama kali mendaki itu hal wajar. Tapi beruntungnya ia bisa memaksakan diri, walau tasnya harus dibawakan. Itulah ucapan selamat datang di Cikuray buatnya. :D
Sementara temannya, Syifa masih kuat membawa tas. Meskipun pada akhirnya tetap harus dibawakan oleh kami, para lelaki sejati. Aku berada di belakang bersama Saldeng (Iqbal). Saldeng itu nama lapangannya di Mahapeka yang berarti Salah Denge (Salah Mendengar). Atau bisa juga biar efektif dan efisien sebut saja Budeg. Sementara Rijal dan Tomi di depan bersama para ladis.
Cikuray termasuk gunung yang susah sumber mata air. Para pendaki harus membawa air lumayan banyak jika ingin mendaki gunung ini. Sumber air terakhir berada di Pos 2, itu pun melalui pipa yang sengaja dibuat bolong.
Perjalan terus berlanjut, dengan banyak istirahat. Mendaki gunung tak harus cepat-cepat bila tak kuat. Kami memang tipe pendaki dengan setelan santai. Kebetulan waktu itu tak banyak yang mendaki. Jadi kami tak perlu khawatir akan kehabisan tempat untuk mendirikan tenda.
Ada pemandangan tak mengenakan mata di Cikuray, yakni soal sampah. Aku sangat miris dengan kondisi Cikuray seperti ini. Baru kali ini aku mendaki gunung dengan sampah-sampah yang begitu banyak berserakan. Apa susahnya buat kita untuk membawa turun kembali sampah. Alam sudah memberikan segalanya bagi kita. Tapi kita malah menjadi manusia tak beradab dengan biadab membuang sampah begitu saja. Miris, sungguh miris.
Sampah di Pos Bayangan. (Foto: Adi Permana)
Pos demi pos dilalui, meskipun perjalanan kami sedikit lebih dramatis dengan pekatnya kabut. Jalan semakin terjal saja dengan tanjakan yang curam. Membuat kami lebih sering beristirahat. Bahkan saking terjalnya lutut pun bisa kena hingga dada. Aduh beruntungnya lutut *eh.
Hari mulai Sore, sekitar pukul 16.00 kami tiba di pos Puncak Bayangan. Dari sini puncak Cikuray bisa dilihat, meskipun sedkit tertutup kabut. Ada dua tenda yang sudah terpasang di pos ini. Mereka sudah mendaki sejal pagi tandi. Waktu itu, perut sudah menagih janji, kami lantas membuka perbekalan untuk mengisi perut.
Puas beristirahat dan mengisi perut, kami melanjutkan pendakian dengan track sama, tanjakan dan manjanjak terus. Vegetasi tumbuhan mulai berbeda, aku tak terlalu hapal jenis-jenisnya, yang jelas tumbuhan di sekeliling sudah mulai ditumbuhi lumut.
“Hujan memang romantis, padanya selain butiran air juga terdapat butiran makna.
Hujan selalu turun meski ia dihantam petir dan gemuruh langit, betapa ia sungguh berani dan punya tekad kuat.
Dalam peralihannya, ketika ia menguap ke langit, kemudian meluruh, dan membasahi bumi ada pesan yang tersirat bahwa hiduap adalah proses. Dan hidup selalu beralih dari satu fase ke fase yang lain. “
Kami kemalaman di perjalanan menuju Garut, kami tiba di kota yang terkenal dengan Dodol itu sekitar pukul 17.00. Rencana awalnya kami akan langsung ke lokasi pendakian, yakni pos Pemancar. Tapi dengan kondisi basah kuyuk dan hujan, rencana kemudian berubah. Kami akhirnya memutuskan untuk menginap di kosan teman si Iqbal. Lumayan ada lapak untuk mendengkur. Beruntung pula, karena kami dijamu oleh ibu kosan. Ini sih bukan lumayan lagi, tapi luar biasa.
Perjalanan hari ini memang belum seberapa, masih ada petualangan sesungguhnya yang akan dimuali esok hari. Maka malam itu pun kami habiskan dengan bobo cantik secantik-cantiknya bobo.
Rabu, 18 Juni 2014
Pagi mulai memantulkan cahaya, mengetuk mata yang lupa waktu, membiaskan mimpi-mimpi manis. Hujan kemarin sepertinya masih membekas pada genting-genting dan jalanan. Tapi mereka telah menyejukanku pagi ini, di Garut yang dingin. Semoga juga demikian, kamu memang dingin tapi kamu menyejukan.
Setelah packing dan pamitan, kami melanjutkan petualangan. Tapi sejauh mata memangdang, Cikuray tak kunjung tampak. Kabut menyelimutinya dengan tebal. Kami akhirnya tiba di Kec. Cilawu. Tujuan selanjutnya adalah Pos Pemancar, sebagai pintu masuk yang banyak digunakan oleh para pendaki.
Kondisi jalan menuju ke sana lumayan berat, karena selain banyak tanjakan, jalannya juga masih berupa bebatuan besar. Bila tidak menggunakan kendaraan pribadi, tak usah khawatir sebab banyak ojeg yang siap mengantar ke Pos Pemancar. Tapi harus merogoh kocek sebesar Rp 35.000.
Pos Pemancar berupa tempat untuk tower-tower stasiun televisi. Pemandangan sekeliling berupa hamparan kebun teh. Dari pos pemancar, kita bisa melihat Kota Garut gunung-gunung yang mengelilinginya. Setibanya di sana kami sedikit beristirahat karena perjalanan yang lumayan melelahkan. Bagi yang bawa motor, Insya Allah aman karena ada tempat parkir di sekitar Pemancar.
Sebelum melakukan pendakian, kami mendaftarkan diri terlebih dulu di sebuah pos di sebelah kiri Pemancar, dan membayar seikhlasnya. Sebelum ke pemancar, kami melalui jalan disebut orang jalur tiket, dengan membayar Rp 5000,- untuk pengunjung dan motor. Sekadar saran, bagi yang mau ke Ckuray lebih baik memakai jalur tanpa tiket, lokasinya bisa bertanya pada penduduk di sekitar sana. Sebab rute yang dilalui lebih dekat dan jalannya pun tidak terlalu berat.
Pukul 10.30, pendakian dimulai. jalur yang kami lewati pertama yakni tanjakan dengan latar kebun teh. Tapi baru beberapa menit meninggalkan Pemancar, Ayu sapaan Rahayu sudah terkapar. Dia bilang sudah tidak kuat. Padahal masih ada 8 pos di depan sana. Sebagai orang yang baru pertama kali mendaki itu hal wajar. Tapi beruntungnya ia bisa memaksakan diri, walau tasnya harus dibawakan. Itulah ucapan selamat datang di Cikuray buatnya. :D
(Kiri ke Kanan) Rijal, Iqbal, Syifa, Rahayu dan Aku saat berfoto sebelum menuju hutan Cikuray. (Foto : Tomi) |
Sementara temannya, Syifa masih kuat membawa tas. Meskipun pada akhirnya tetap harus dibawakan oleh kami, para lelaki sejati. Aku berada di belakang bersama Saldeng (Iqbal). Saldeng itu nama lapangannya di Mahapeka yang berarti Salah Denge (Salah Mendengar). Atau bisa juga biar efektif dan efisien sebut saja Budeg. Sementara Rijal dan Tomi di depan bersama para ladis.
Cikuray termasuk gunung yang susah sumber mata air. Para pendaki harus membawa air lumayan banyak jika ingin mendaki gunung ini. Sumber air terakhir berada di Pos 2, itu pun melalui pipa yang sengaja dibuat bolong.
Perjalan terus berlanjut, dengan banyak istirahat. Mendaki gunung tak harus cepat-cepat bila tak kuat. Kami memang tipe pendaki dengan setelan santai. Kebetulan waktu itu tak banyak yang mendaki. Jadi kami tak perlu khawatir akan kehabisan tempat untuk mendirikan tenda.
Ada pemandangan tak mengenakan mata di Cikuray, yakni soal sampah. Aku sangat miris dengan kondisi Cikuray seperti ini. Baru kali ini aku mendaki gunung dengan sampah-sampah yang begitu banyak berserakan. Apa susahnya buat kita untuk membawa turun kembali sampah. Alam sudah memberikan segalanya bagi kita. Tapi kita malah menjadi manusia tak beradab dengan biadab membuang sampah begitu saja. Miris, sungguh miris.
Sampah di Pos Bayangan. (Foto: Adi Permana)
Pos demi pos dilalui, meskipun perjalanan kami sedikit lebih dramatis dengan pekatnya kabut. Jalan semakin terjal saja dengan tanjakan yang curam. Membuat kami lebih sering beristirahat. Bahkan saking terjalnya lutut pun bisa kena hingga dada. Aduh beruntungnya lutut *eh.
Hari mulai Sore, sekitar pukul 16.00 kami tiba di pos Puncak Bayangan. Dari sini puncak Cikuray bisa dilihat, meskipun sedkit tertutup kabut. Ada dua tenda yang sudah terpasang di pos ini. Mereka sudah mendaki sejal pagi tandi. Waktu itu, perut sudah menagih janji, kami lantas membuka perbekalan untuk mengisi perut.
Puas beristirahat dan mengisi perut, kami melanjutkan pendakian dengan track sama, tanjakan dan manjanjak terus. Vegetasi tumbuhan mulai berbeda, aku tak terlalu hapal jenis-jenisnya, yang jelas tumbuhan di sekeliling sudah mulai ditumbuhi lumut.
Hujan pun akhirnya turun. Tapi kami baru sampai di Pos 7. Kami mencari tempat berteduh di pelataran yang lebih luas, dengan kondisi hari sudah mulai gelap. Baju sudah basah kuyuk karena tak sempat membuka jas hujan. Aku sendiri salah membawa ponco yang sudah bolong. Di pos ini pula kami terpisah dengan Rijal yang sudah lebih dulu menuju puncak.
Dingin sudah menjalar ke seluruh tubuh, ditambah perut yang keroncongan, di sekeliling sudah mulai gelap, dan hujan malah semakin membesar. Kami pun berkumpul dan lebih merapat supaya bisa hangat hangat. Sementara charly menyusul Rijal yang sudah duluan. Saat itulah momen yang paling dramatis dan juga paling romantis. Di situlah kami saling melengkapi satu sama lain.
Sayup-sayup dari kejauhan Carly berteriak untuk melanjutkan perjalanan. Sebab bila ditunggu hujan pun belum tentu akan reda. Dengan langkah yang mulai tergopoh-gopoh kami akhirnya tiba di pelataran yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Beruntung aku membawa dua Fly Sheet waktu itu. Jadi cukup aman walau tenda belum didirikan. Rijal sudah basah kuyuk dan telanjang dada. Tapi kami tak khawatir, karena dia punya lemak tubuh yang lebih tebal, jadi bis lebih kuat menahan dingin. #Naon ari sia
Tenda sudah terpasang, fly sheet sudah dibentang dengan rapi. Ini yang ditunggu-tunggu, acara masak-memasak pun dimulai. Menu kali ini yang akan kami olah adalah sosis, nugget, abon, sarden dan tak lupa mie goreng. Sudah cukup untuk memulihkan tenaga yang terkuras selama perjalanan.
Setelah acara diner di dalam tenda, kami lantas membukan sleeping bag dan mulai menganyam bulu mata.
Lelah itu mulai membeku
Lalu merambat ke sela-sela otot
Tapi kemudian mencair saat kami bercengkrama di dalam tenda
Keberadaan kita lebih hangat daripada secangkir STMJ kawan
Bahkan tak kalah hangat dengan fajar yang kita tunggu esok.
Kamis, 19 Juni 2014
Waktu di jam menunjukan pukul satu dini hari. Aku masih terjaga dalam dingin dan pekatnya kabut Cikuray waktu itu. Sementara yang lain, mungkin sedang bercinta dengan mimpi-mimpi mereka. Hujan masih turun dengan bergelora. Aku mendengar suara alam yang aneh-aneh, entahlah itu firasat atau bukan. Suara-suara itu memecah keheningan, mencekam dan membuat nuansa makin seram.
Aku keluar dari tenda, sejauh mata memandang adalah kabut dan hutan yang sepi. Air sudah mulai merembes ke bagian bawah tenda, karena tak sempat membuat parit di sekelilingnya. Fly sheet sudah mulai bocor tak kuat menahan derasnya hujan.
Hingga subuh, hujan tak kunjung reda. Padahal kami ingin meliaht sunrise di puncak Cikuray. Biarpun reda sepertinya sunrise tetap tak akan terlihat, karena kabut dan awan yang tebal. Cuaca baru cerah sekitar pukul tujuh pagi. Tapi kami tak mau beranjak dari tenda karena dinginnya luar biasa. Pendaki yang lain sudah mulai ramai melintas ke tenda kami. Begitupun dari arah puncak yang hanya beberapa meter dari tempat kami, sudah mulai ramai dengan banyak teriakan. Tapi kami lebih memlih diam ditenda sambil menunggu sarapan pagi.
Baru sekitar pukul sembilan kami menuju puncak. Di sana sudah lumayan banyak para pendaki lain yang mulai narsis di hadapan kamera, termasuk kami tentunya. Di seberang sana sudah mulai terlihat Gunung Papandayan dan Guntur. Hari itu kami memang kurang beruntung karena alam sedikit tak bersahabat. Tapi tak menyulutkan semangat kami untuk tetap berfose.
Kami mulai turun sekitar pukul 11.30. Tracknya yang dilalui semakin licin, karena guyuran hujan semalam. Saat turun rupanya banyak pula para pendaki yang naik hari ini. Dan kebetulan aku bertemu dengan Iin, teman pendaki perempuan saat di Papandayan. Dia juga baru pertama ke Cikuray, di tengah perjalanan kami sedikit berbincang soal kondisi di Cikuray waktu itu.
Selama perjalanan turun, kabut tetap menjadi teman setia. Perjalanan turun lebih cepat dari mendaki. Sekitar pukul 14.00 kami sudah sampai di Pos 3. Istirahat sejenak dan membuka perbekalan yang masih tersisa banyak. Setelah itu perjalanan berlanjut.
Di pertengahan menuju pos 2, perjalanan turun kembali berhenti. Lagi-lagi kami terhenti oleh derasnya hujan. Lalu kami pun membuat bifak dadakan di tengah jalan. Pakaian kembali basah, bernyanyi dan ngomong ngaler ngidul itulah penghangat kami waktu itu. Hujan rupanya tak kunjung reda, seperti tak mau melepaskan kepergian kami di tengah hutan CIkuray. Baru saat sore harinya, hujan sedikit reda.
Kami akhirnya tiba di Pemancar sekitar pukul lima sore. Sudah tidak memungkinkan untuk lanjut pulang ke Bandung. Apalagi dengan kondisi tubuh kelelahan dan hujan yang mulai turun. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap lagi semalam di Pemancar dan mendirikan tenda di sana.
Jumat 20 Juni 2014
Hari sedang cerah, aku bergumam, beruntung sekali si Iin bisa melihat sunrise di puncak. Tapi kami pun masih tetap bisa melihatnya di Pemancar, walaupun seadanya. Setelah packing kembali, waktunya kami untuk pulang ke Kota Kembang. Di tengah perjalanan pulang, masih di perkebunan teh, aku menoleh kebelakang melihat kembali Cikuray. Kini ia terlihat jelas kegagahannya. Menyilaukan setiap mata para pendaki untuk mendakinya.
Perjalanan pulang kami terpisah saat mulai memasuki kawasan Nagreg. Rijal berhenti untuk salat Jumat, Iqbal sudah duluan entah di mana, dan aku tentunya ikut berhenti untuk melaksanakan sesi foto-foto di terowongan yang terkenal di jalur Lingkar Nagreg. Salat Jumat terpaksa di skip dahulu karena aku sudah kehabisan pakaian bersih. Mudah-mudahan alasanku diterima. Aku berboncengan dengan Ayu waktu itu, kami berdua akhirnya tiba di Cibiru, pas waktu salat Jumat usai. Aku pulang ke kosan sendiri, sementara dia lebih memilih menunggu “ojeg pribadinya” di sebrang kampus.
Selang beberapa waktu, personel yang lain (Rijal, Iqbal, Tomi, Syifa) kembali merapat ke kontrakanku. Sebelum berpisah kami membagikan logistik yang masih tersisa dan beberapa perlengkapan lain. Akhirnya kami berpisah.
Cerita belum usai, Syifa rupanya masih betah untuk berdiam. Tapi ini bukan semacam sesi PDKT yang dilakukan manusia haus cinta. Kebetulan saja ia sedang kelelahan dan perlu istirahat, sambil menunggu hujan yang kembali turun. Aku dan dia tidak ngobrol berdua, syariah tidak mengajarkan hal itu. Kita ngobrol bertiga bersama tetesa air di sela-sela atap yang mulai bocor. Haha..Momen yang bisa dibilang romantis tapi lebih banyaknya mistis.
Aku tak sanggup mengantar Syifa ke kosannya di bilangan Pusdai, karena sudah lelah sangat. Beruntung ada pria strong yang mau mengantarnya pulang. Dialah Donny Iqbal, pahlawan yang tak beruntung di tikungan, yang dengan tegasnya berkata, “Aku saja yang mengantarmu pulang Syifa,” bak aktor laga di film FTV dengan efek musik dari grup band Kangen Band.
Itulah sepenggal kisah tentang perjalanan kemi berenam di tanah tertinggi Garut, Cikuray. Banyak hal yang dapat diambil dari perjalanan itu. Terutama tentang ajaran moral kepada alam. Bahwa alam telah mengajarkan banyak hal, hanya manusianya saja yang tak bisa berilham padanya. Dan bahwa jangan pernah main-main dengan alam, karena alam tak pernah main-main.
Terima kasih Cikuray dan kalian berlima yang sudah melengkapi atas janji-janjiku untuk menaklukan lima puncak di Jawa Barat. Setelahnya mungkin aku tidak akan terlalu terobsesi untuk naik gunung. Cikuray juga menjadi pengingat bahwa aku harus segera cukur rambut, sebab aku berjanji jika berhasil mendaki lima gunung, harus potong rambut.
Untuk Iqbal, terima kasih sudah mau tergopoh-gopoh membawa dua tenda dipundakmu. Lelahmu adalah lelahku juga. Semoga di gunung berikutnya kamu bisa bertemu jodoh, sebab di gunung tidak ada tikungan.
Untuk Tomi, terima kasih sudah memandu kami dengan senang hati. Semoga kamu tetap bersahabat dengan bakomu itu, yang sudah seperti sepasang sepatu, selalu bersama dan tak bisa berpisah.
Untuk Rijal, terima kasih sudah menghiasi pendakianku dengan harmonikamu. Nada-nadanya sungguh membuatku melankolis dengan keadaan . Semoga kamu bisa kurusan.
Untuk Syifa, terima kasih sudah mau menemani aku bermandikan keringat dari dingin dan pekatnya kabut Cikuray. Semoga kamu bisa memaknai hidup dari pendakian itu.
Dan untuk Rahayu, terima kasih sudah menjadi pelengkap atas janji-janjiku tentang gunung. Sepertinya aku harus mencabut kata-kataku dulu, soal takdir kita mendaki bersama.
Terima kasih Cikuray, rindu ini akan tetap bergema.
“Aku tidak pernah berniat menaklukan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian. Pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa!” – Idhan Lubis
Baca juga : Kedamaian di Puncak Gede
Dingin sudah menjalar ke seluruh tubuh, ditambah perut yang keroncongan, di sekeliling sudah mulai gelap, dan hujan malah semakin membesar. Kami pun berkumpul dan lebih merapat supaya bisa hangat hangat. Sementara charly menyusul Rijal yang sudah duluan. Saat itulah momen yang paling dramatis dan juga paling romantis. Di situlah kami saling melengkapi satu sama lain.
Sayup-sayup dari kejauhan Carly berteriak untuk melanjutkan perjalanan. Sebab bila ditunggu hujan pun belum tentu akan reda. Dengan langkah yang mulai tergopoh-gopoh kami akhirnya tiba di pelataran yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Beruntung aku membawa dua Fly Sheet waktu itu. Jadi cukup aman walau tenda belum didirikan. Rijal sudah basah kuyuk dan telanjang dada. Tapi kami tak khawatir, karena dia punya lemak tubuh yang lebih tebal, jadi bis lebih kuat menahan dingin. #Naon ari sia
Tenda sudah terpasang, fly sheet sudah dibentang dengan rapi. Ini yang ditunggu-tunggu, acara masak-memasak pun dimulai. Menu kali ini yang akan kami olah adalah sosis, nugget, abon, sarden dan tak lupa mie goreng. Sudah cukup untuk memulihkan tenaga yang terkuras selama perjalanan.
Makan malam yang menggairahkan. (Foto: Adi Permana) |
Setelah acara diner di dalam tenda, kami lantas membukan sleeping bag dan mulai menganyam bulu mata.
Lelah itu mulai membeku
Lalu merambat ke sela-sela otot
Tapi kemudian mencair saat kami bercengkrama di dalam tenda
Keberadaan kita lebih hangat daripada secangkir STMJ kawan
Bahkan tak kalah hangat dengan fajar yang kita tunggu esok.
Kamis, 19 Juni 2014
Waktu di jam menunjukan pukul satu dini hari. Aku masih terjaga dalam dingin dan pekatnya kabut Cikuray waktu itu. Sementara yang lain, mungkin sedang bercinta dengan mimpi-mimpi mereka. Hujan masih turun dengan bergelora. Aku mendengar suara alam yang aneh-aneh, entahlah itu firasat atau bukan. Suara-suara itu memecah keheningan, mencekam dan membuat nuansa makin seram.
Aku keluar dari tenda, sejauh mata memandang adalah kabut dan hutan yang sepi. Air sudah mulai merembes ke bagian bawah tenda, karena tak sempat membuat parit di sekelilingnya. Fly sheet sudah mulai bocor tak kuat menahan derasnya hujan.
Hingga subuh, hujan tak kunjung reda. Padahal kami ingin meliaht sunrise di puncak Cikuray. Biarpun reda sepertinya sunrise tetap tak akan terlihat, karena kabut dan awan yang tebal. Cuaca baru cerah sekitar pukul tujuh pagi. Tapi kami tak mau beranjak dari tenda karena dinginnya luar biasa. Pendaki yang lain sudah mulai ramai melintas ke tenda kami. Begitupun dari arah puncak yang hanya beberapa meter dari tempat kami, sudah mulai ramai dengan banyak teriakan. Tapi kami lebih memlih diam ditenda sambil menunggu sarapan pagi.
Baru sekitar pukul sembilan kami menuju puncak. Di sana sudah lumayan banyak para pendaki lain yang mulai narsis di hadapan kamera, termasuk kami tentunya. Di seberang sana sudah mulai terlihat Gunung Papandayan dan Guntur. Hari itu kami memang kurang beruntung karena alam sedikit tak bersahabat. Tapi tak menyulutkan semangat kami untuk tetap berfose.
(Foto: Rahayu) |
(Foto: Iqbal) |
(Foto: Rijal) |
Sebelum pulang ada baiknya untuk bergaya di depan lensa kamera. (Foto: Rijal) |
Selama perjalanan turun, kabut tetap menjadi teman setia. Perjalanan turun lebih cepat dari mendaki. Sekitar pukul 14.00 kami sudah sampai di Pos 3. Istirahat sejenak dan membuka perbekalan yang masih tersisa banyak. Setelah itu perjalanan berlanjut.
Di pertengahan menuju pos 2, perjalanan turun kembali berhenti. Lagi-lagi kami terhenti oleh derasnya hujan. Lalu kami pun membuat bifak dadakan di tengah jalan. Pakaian kembali basah, bernyanyi dan ngomong ngaler ngidul itulah penghangat kami waktu itu. Hujan rupanya tak kunjung reda, seperti tak mau melepaskan kepergian kami di tengah hutan CIkuray. Baru saat sore harinya, hujan sedikit reda.
Kami akhirnya tiba di Pemancar sekitar pukul lima sore. Sudah tidak memungkinkan untuk lanjut pulang ke Bandung. Apalagi dengan kondisi tubuh kelelahan dan hujan yang mulai turun. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap lagi semalam di Pemancar dan mendirikan tenda di sana.
Tenda kami saat didirikan di sebuah warung di Pemancar. (Foto: Adi Permana) |
Jumat 20 Juni 2014
Hari sedang cerah, aku bergumam, beruntung sekali si Iin bisa melihat sunrise di puncak. Tapi kami pun masih tetap bisa melihatnya di Pemancar, walaupun seadanya. Setelah packing kembali, waktunya kami untuk pulang ke Kota Kembang. Di tengah perjalanan pulang, masih di perkebunan teh, aku menoleh kebelakang melihat kembali Cikuray. Kini ia terlihat jelas kegagahannya. Menyilaukan setiap mata para pendaki untuk mendakinya.
Sun rise dari Pos Pemancar. (Foto: Adi Permana) |
Gunung Cikuray dari kejauhan. (Foto: Rahayu) |
Perjalanan pulang kami terpisah saat mulai memasuki kawasan Nagreg. Rijal berhenti untuk salat Jumat, Iqbal sudah duluan entah di mana, dan aku tentunya ikut berhenti untuk melaksanakan sesi foto-foto di terowongan yang terkenal di jalur Lingkar Nagreg. Salat Jumat terpaksa di skip dahulu karena aku sudah kehabisan pakaian bersih. Mudah-mudahan alasanku diterima. Aku berboncengan dengan Ayu waktu itu, kami berdua akhirnya tiba di Cibiru, pas waktu salat Jumat usai. Aku pulang ke kosan sendiri, sementara dia lebih memilih menunggu “ojeg pribadinya” di sebrang kampus.
Selang beberapa waktu, personel yang lain (Rijal, Iqbal, Tomi, Syifa) kembali merapat ke kontrakanku. Sebelum berpisah kami membagikan logistik yang masih tersisa dan beberapa perlengkapan lain. Akhirnya kami berpisah.
Cerita belum usai, Syifa rupanya masih betah untuk berdiam. Tapi ini bukan semacam sesi PDKT yang dilakukan manusia haus cinta. Kebetulan saja ia sedang kelelahan dan perlu istirahat, sambil menunggu hujan yang kembali turun. Aku dan dia tidak ngobrol berdua, syariah tidak mengajarkan hal itu. Kita ngobrol bertiga bersama tetesa air di sela-sela atap yang mulai bocor. Haha..Momen yang bisa dibilang romantis tapi lebih banyaknya mistis.
Aku tak sanggup mengantar Syifa ke kosannya di bilangan Pusdai, karena sudah lelah sangat. Beruntung ada pria strong yang mau mengantarnya pulang. Dialah Donny Iqbal, pahlawan yang tak beruntung di tikungan, yang dengan tegasnya berkata, “Aku saja yang mengantarmu pulang Syifa,” bak aktor laga di film FTV dengan efek musik dari grup band Kangen Band.
Itulah sepenggal kisah tentang perjalanan kemi berenam di tanah tertinggi Garut, Cikuray. Banyak hal yang dapat diambil dari perjalanan itu. Terutama tentang ajaran moral kepada alam. Bahwa alam telah mengajarkan banyak hal, hanya manusianya saja yang tak bisa berilham padanya. Dan bahwa jangan pernah main-main dengan alam, karena alam tak pernah main-main.
Terima kasih Cikuray dan kalian berlima yang sudah melengkapi atas janji-janjiku untuk menaklukan lima puncak di Jawa Barat. Setelahnya mungkin aku tidak akan terlalu terobsesi untuk naik gunung. Cikuray juga menjadi pengingat bahwa aku harus segera cukur rambut, sebab aku berjanji jika berhasil mendaki lima gunung, harus potong rambut.
Untuk Iqbal, terima kasih sudah mau tergopoh-gopoh membawa dua tenda dipundakmu. Lelahmu adalah lelahku juga. Semoga di gunung berikutnya kamu bisa bertemu jodoh, sebab di gunung tidak ada tikungan.
Untuk Tomi, terima kasih sudah memandu kami dengan senang hati. Semoga kamu tetap bersahabat dengan bakomu itu, yang sudah seperti sepasang sepatu, selalu bersama dan tak bisa berpisah.
Untuk Rijal, terima kasih sudah menghiasi pendakianku dengan harmonikamu. Nada-nadanya sungguh membuatku melankolis dengan keadaan . Semoga kamu bisa kurusan.
Untuk Syifa, terima kasih sudah mau menemani aku bermandikan keringat dari dingin dan pekatnya kabut Cikuray. Semoga kamu bisa memaknai hidup dari pendakian itu.
Dan untuk Rahayu, terima kasih sudah menjadi pelengkap atas janji-janjiku tentang gunung. Sepertinya aku harus mencabut kata-kataku dulu, soal takdir kita mendaki bersama.
Terima kasih Cikuray, rindu ini akan tetap bergema.
“Aku tidak pernah berniat menaklukan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian. Pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa!” – Idhan Lubis
Baca juga : Kedamaian di Puncak Gede