Sudah tidak
diragukan lagi untuk mengakui bahwa mahasiswalah yang begitu dominan
peranannya terhadap dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Mahasiswalah
yang menjadi lokomotif perubahan bangsa, dari era prakemerdekaan sampai
masa reformasi bergulir.
Ketika
itu pula peran mahasiswa sangat begitu dominan dalam mengawal jalannya
pemerintahan. Namun yang kini jadi pertanyaan apakah kaum intelektual
muda sekarang harus terus memakai pola yang sama untuk menyampaikan
aspirasinya ? apakah harus terus berteriak di jalanan dan berdemo ?
Tentu tidak !
Mungkin
ada sebagian orang yang menganggap hal itu masih perlu dilakukan. Dan
itu tidak bisa disalahkan. Tapi, sekarang kita perlu akan sesuatu baru
yang dapat menyalurkan aspirasi mahasiswa tanpa merusak esensinya. Kita
perlu sesuatu yang jauh lebih efektif dan efisien dalam mangawal roda
kebijakan. Pers Mahasiswalah alternatifnya.
Perlu
kita telaah bahwa kehadiran pers mahasiswa (persma) di era saat ini
begitu berpengaruh terhadap pergerakan mahasiswa. Pers mahasiswa dapat
menjadi media alternatif baru yang berani menginformasikan berita-berita
yang mampu mempengaruhi pemikiran, baik ditingkat universitas maupun
masyarakat. Bahkan bisa saja sampai pada tataran pemerintahan.
Meski
sering disebut bermain di balik layar dari sebuah pergerakan mahasiswa,
namun kerja pers mahasiswa sama beratnya dengan pergerakan dan aksi
lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan tuntutan harus
menyampaikan informasi seobjektif dan seakurat mungkin, pers mahasiswa
harus peka dan lebih berani daripada semua elemen pergerakan mahasiswa
umumnya. Maka tepatlah sekali bila pepatah mengatakan, “mata pena lebih
tajam dari mata pedang.” Itulah yang menjadi kelebihan persma.
Secara
sederhana pers mahasiswa dapat diartikan sebagai media aspirasi bagi
mahasiswa untuk menyampaikan ide-ide atau gagasanya. Sebagaimana fungsi
pers pada umumnya, persma memiliki fungsi edukasi, informasi, menghibur,
dan kontrol sosial.
Dari
fungsi di atas, fungsi utama yang paling dominan dalam kehadiran persma
yakni sebagai fungsi kontrol sosial. Fungsi inilah yang menjadi
prioritas utama diantara fungsi-fungsi yang lain. Namun sepertinya akan
sulit untuk menjalankan fungsi kontrol tersebut.
Bila
kita telaah keadaan sekarang, di mana mahasiswa sekarang lebih apatis
dan hedonis. Yang ada hanya menutup telinga dan mata seolah tak peduli
sama sekali.
Sebagian orang ada yang menganggap bahwa kehadiran persma hanya bisa
menjelek-jelekan kampus saja. Tanpa memberikan informasi yang
benar-benar mencerdaskan mahasiswanya. Pendapat itu sebenarnya yang
menjadikan ciri mahasiswa yang apatis dan hedonis. Mereka tidak sadar
akan fungsi utama sebuah media pers yakni sebagai kontrol. Jika tidak
ada kontrol sama sekali maka yang ada hanya permasalahan demi
permasalahan yang timbul.
Justru
ketika sebuah media seperti persma memberitakan informasi-informasi
yang sifatnya “menjelek-jelekan” sebenarnya hal itu mempunyai peran
memberikan informasi yang mencerdaskan pembaca akan keadaan sekarang.
Jadi tidaklah betul ketika pendapat tersebut disematkan kepada persma.
Permasalahan Persma Sekarang
Sulit
memang bila ingin menjadikan persma sebagai media yang profesional
mencerdaskan masyarakat kampus dan menjadi agent of control social.
Yang bisa kita telaah, setidaknya ada dua permasalahan utama yang
mendasar.
Pertama,
persma sekarang sedang hidup dan berenang di tengah-tengah mahasiswa
yang sudah tidak lagi idealis. Dan lebih condong kepada hal-hal yang
bersifat fragmatis. Mahasiswa sekarang enggan untuk lebih kritis
terhadap permasalahan birokrasi. Mahasiswa sekarang lebih asik menonton
orang-orang berdemo dibanding ikut untuk bersuara.
Kedua,
masalah pendanaan. Kita tahu, bahwa persma berada dibawah naungan
kampus. Otomatis pendanaan yang didapat kebanyakan berasal dari kampus
walaupun sebagian dana bisa didapat dari iklan. Tapi itu tidak dapat
menutupi kebutuhan. Hal itulah yang menghambat kreativitas persma.
Aktivis-aktivis persma agak sedikit ragu untuk mengkritisi permasalahan
birokrasi, karena takut akan ada masalah bagi pendanaan persnya. Jika
pendanaan di-stop, akibatnya agenda-agenda acara yang sudah di susun
bisa jadi tidak terealisasikan. Majalah atau tabloid yang seharunya naik
cetak bisa jadi tidak naik cetak sebab kekurangan biaya.
Permasalahan
selanjutnya bisa jadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang. Bisa saja
para pegiat-pegiat yang berkecimpung di pers sendiri bukan orang-orang
yang berkompeten di dalamnya. Misalnya dalam rubrik tabloid diisi dengan
karya hasil menjiplak. Tanpa peduli dengan adanya Hak Cipta, lalu karya
yang dijiplak diakuinya sebagai hasil karya sendiri.
Saatnya untuk Bangun
Permasalahan-permasalahan
yang timbul diatas tidak lain adalah bom waktu. Hanya tinggal menunggu
saatnya tiba, maka bom itupun akan meledak dan membuat persma menjadi
tidak memiliki peran sama sekali.
Dalam
kondisi demikian, solusi yang kongkrit untuk mencegah bom waktu itu
meledak adalah dengan merevitalisasi persma. Dan itu merupakan harga
mati. Jangan sampai kehadiran persma diangggap sebagai media hiburan
belaka. Jangan sampai persma menjadi tangan kanan untuk memuluskan
kepentingan politik. Persma harus menjadi media yang kritis dan
mengontrol kebijakan-kebijakan birokrat. Pun harus mampu mencerdaskan
kehidupan masyarakat kampus, bahkan masyarakat umumnya.
Sekarang
sudah saatnya persma untuk bangun dari hibernasinya. Persma harus
menjadi penyambung lidah terhadap aspirasi. Jangan sampai persma menjadi
media kodok yang melompat dari satu masalah yang hangat ke permasalahan
lainnya. Padalah masalah sebelumnya belum ada titik temu. Persma harus
menjadi media yang kritis dan obejektif terhadap permasalahan yang ada.
Jayalah Pers Mahasiswa.!!!
No comments:
Post a Comment