Adalah
aku yang sudah hampir tiga minggu lamanya menghabiskan waktu liburan semester
ganjil di rumah. Rumah ku ini terletak di sebelah selatan dari Kota Cianjur,
sebut namanya Tanggeung. Sebuah kecamatan kecil yang kata orang dulu Tanggeung
itu artinya “Tanggung” jauh kemana-mana. Dan memang benar adanya, jika ingin
pergi ke Kota Cianjur dibutuhkan waktu setidaknya tiga jam perjalanan, pun bila
ingin ke selatan lagi menuju pantai, hampir dua jam perjalanan harus ditempuh.
Belum lagi modal transportasi yang tersedia hanya sebuah Elf yang sudah dimakan usia, melintasi jalan-jalan sempit dengan jurang dibawahnya.
Ngeri bukan main. Itulah salah satu alasan aku enggan untuk pulang kampung sering-sering.
Belum lagi modal transportasi yang tersedia hanya sebuah Elf yang sudah dimakan usia, melintasi jalan-jalan sempit dengan jurang dibawahnya.
Ngeri bukan main. Itulah salah satu alasan aku enggan untuk pulang kampung sering-sering.
Tidak lupa aku menemui emak dan aki dulu untuk pamit. Aku memberitahukan kepada mereka bahwa hari ini aku jadi berangkat ke Bandung lagi. Ibu dan Bapak adalah orang yang terkahir aku salami. Mereka semua sama ketika aku akan pamit mendoakan supaya aku baik-baik di Bandung, kuliahnya diberi kelancaran, dan selalu banyak rejeki. Aku hanya bisa mengamini dan terkadang juga mendoakan kembali. Setelah semua selesai akupun langsung pergi berjalan kaki menuju terminal yang tak begitu jauh. Rencanya dari Tanggeung naik elf sampai Terminal Cianjur, lalu naik bis “Doa Ibu” menuju Cileunyi. Dan naik angkot Caheum-Cileunyi berhenti tepat di Kampus UIN Bandung lalu berjalan sebentar menuju kosan, sampai deh.
Aku segera melaksanakan rencana itu. Tak perlu menunggu, elf yang akan mengantarkan aku menuju Terminal Pasir Hayam Cianjur sedang mengetem di Terminal Tanggeung. Aku segera naik dan mengamati isi mobil itu. Masih sedikit lengang waktu itu. Ku amati dua orang laki-laki di kursi ketiga dan keempat, sepasang suami-isteri di kursi depan sebari memangku anak balitanya. Sementara aku duduk sendiri di kursi kedua.
Pak supir menjalankan mesin tanda mobil akan segera berangkat. Aku membuka pintu jendela mobil untuk melihat keluar. Melihat langit di kampung halamanku dengan tatapan haru. Teduh dengan awan-awan yang membentuk semacam pulau-pulau putih dan di soroti dengan matahari pagi, membuat langit begitu cerahnya. Selamat Tinggal kampung halamanku, kenangan kecilku, Bapak dan ibu, emak dan aki. Sampai berjumpa lagi. Aku menutup kembali jendela itu rapat-rapat.
Desingan suara mesin mobil yang begitu jelasnya terdengar di tempatku ini, menemani pegal yang aku rasakan. satu jam tiga puluh menit sudah perjalananku. Ketika melihat ke luar, nampaknya aku masih berada di daerah Sukanegara, masih setengah perjalanan menuju Terminal Cianjur dan masih kurang seperempat perjalanan menuju Bandung.
Kursi mobil ahirnya penuh. Empat orang berdempet, ditambah satu anak kecil yang dipangku ibunya menambah sempit di kursi kedua yang sedang aku tempati sekarang. Begitulah, namanya juga naik mobil orang lain, di dempet terus seperti ikan pinang di pasar. Aku tidak begitu menghiraukan hal itu. Aku lihat pemandangan begitu indah diluar sana. Dengan kabut tipisnya, berderet pohon cemara yang tinggi rapat, menghiasi perkebunan teh yang hijau dan luas. Jendela kaca mobil berembun karena saking dinginnya.
Seolah pegal ini tidak terasa bila ku lihat pemandangan itu. Namun sayangnya tak seindah jalan yang aku lalui. begitu sempit, bergelombang, dan lubang di mana-mana. Bila bertemu dengan truk salah satu harus mengalah untuk ke pinggir jalan. Ditambah tubuh ini bak orang yang sedang menonton konser band. Sered ke kanan, kekiri, depan, belakang, berjingkrak ke atas, sampai kepala ini hampir menyentuh langit-langit mobil. Itulah Cianjurku, kabupaten dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Singkat cerita aku sampai ahirnya di Terminal Pasir Hayam Cianjur, setelah tiga jam lebih lamanya menempuh perjalanan Tanggeung-Cianjur. Kini aku beristirahat sejenak di dalam terminal sambil menunggu bus. Aku membeli air mineral di warung, lalu aku minum dan segarnya bukan main, dehidrasi yang aku rasakan selama tiga jam hilang seketika. Lima belas menit berlalu, belum juga datang bus itu. memang tidak hanya bus Doa Ibu saja yang akan ke Cileunyi, ada satu bus lagi Karunia Bakti namanya. Tapi aku enggan naik bus itu karena katanya bus itu banyak copetnya. Hampir satu jam sudah bus itu belum nongol- nongol juga. Aku berkata dalam hati, kapan Bangsa ini mempunyai modal transportasi yang nyaman dan tepat waktu, yang setiap sepuluh menit sekali merapat ke halte. Jalannya nyaman tiada lubang, pun tiada macet.
Tiiit..!!! suara klakson mobil menyadarkanku dari lamunan. Ahirnya bus itupun tiba juga. Setelah satu jam lamanya aku menunggu sampai pantat itu serasa memiliki akar. Bus itu berwarna biru bergaris-garis putus kuning, bertuliskan jelas di bagian depan dan sisinya “ Do’a Ibu”. Aku segera bergegas naik ke dalam bus itu. lalu aku duduk di kursi sebelah kanan bus. Sudah ada satu orang yang menempati kursi itu. Memang ada di belakang kursi yang masih kosong, tapi aku tidak mau kalau terlalu belakang karena aku suka pusing. Aku beruntung bus ini adalah bus AC, tentunya nyaman dan sejuk. Harganya pun sama dengan kelas ekonomi Rp.15.000. Aku lupa belum menceritakan biaya naik elf Tanggeung-Cianjur sebesar Rp.20.000. Tak begitu lama bus pun berlalu dari terminal dan perjalanan di bus itu aku habiskan sepenuhnya dengan tertidur pulas, bak seekor beruang kutub yang sedang hibernasi.
Begitu aku terbangun bus sudah berada di daerah Padalarang sebentar lagi akan masuk Tol. Sebelum di Pintu Tol Padalarang bus sempat menaikan penumpang terlebih dahulu, dan alhasil bus yang aku tumpangi penuh sesak sampai ada yang berdiri. Kursi yang aku dudukipun telah penuh oleh tiga orang beserta bawaanya. Hal yang aku hawatirkanpun terjadi. Perasaan hawatir itu adalah aku ingin buang air kecil, mungkin karena aku terlalu banyak minum di terminal tadi. Mau bagaimana lagi sekarang sedang di Tol dan tak mungkin bus ini berhenti. Terpaksa aku harus menahan sampai tiba di kosan nanti. Perjalanan sepanjang Tol di temani alunan musik dari pengamen jalanan yang menyanyikan lagu lawas khas sunda. Dengan ditemani gitarnya dia begitu santai dan slow menyanyikannya.
*Indung teh tunggu rahayu
Bapakmah Tangkal darajat
munjungmah ulah ka gunung
Muja ulah ka sagara
ari indung anu ngandung
ari bapak nu ....
munjungmah kudu ka indung
muja mah kudu ka bapak*
Kalau tidak salah seperti itulah potongan liriknya, walaupun ada bagian yang aku lupa. Lagu-lagu sunda dahulu memang kebanyakan isinya berupa nasehat-nasehat. Berbeda dengan sekarang, tak perlulah aku jelaskan kalian mungkin sudah lebih paham. Dan lagu itu pula menyudahi tembang-tambang khas sunda dari si pengamen setelah dia menyanyikan dua lagu sebelumnya. Pun dengan perjalanan di tol, sebentar lagi akan tiba di pintu gerbang Tol Cileunyi dan aku harus turun di sini.
Dengan berdesak-desakan aku keluar dari bus dengan menggendong tas yang beratnya bukan main. Tanpa banyak berlama-lama aku menyebrang jalan dan langsung naik angkot jurusan Cicaheum-Cileunyi. Dengan membayar Rp.3.000 aku akhirnya sampai juga di depan kampusku. Waktu di jam tanganku menunjukan Pukul 15.00. Perjalanan itu aku hitung selama tujuh jam lamanya untuk bisa sampai di kampus. Sangat menguras kesabaran.
Di seberang jalan sana, aku melihat teman satu kosanku yang sudah di Bandung 3 hari yang lalu. Rivan namanya.
“ Van di kosan ada siapa ?” Aku lantas menjumpainya dan bertanya.
“ Ada dou Lutfi di,” rivan menjawab.
Duo Lutfi adalah sebutan untuk orang yang sama-sama namanya Lutfi. Yang satu namanya Lutfi Alawi dia kuliah di Bsi, dan yang satu lagi namanya Muhammah Lutfi Kamil dia kuliahnya sama denganku di UIN SGD Bandung.
Pertemuan itupun aku tidak membuatnya berlama-lama, kerena aku sudah capek dan lelah. Aku segera berjalan menuju kosan yang tidak begitu jauh dari kampus. Terletak di Gg. Kujang no. 16, aku bersama lima orang lainnya yang sedaerah denganku menyewa rumah dengan 4 kamar di dalamnya. Rumah ini pula menjadi tempat sekrenya orang-orang Cianjur Selatan.
Sesampainya di kosan, pemandangan yang tak mengenakan mata terlihat. Sampah dimana-mana, piring berserakan dimana-mana, ada bekas asin, bekas pete, lantainya yang kotor pula. Saat itu aku sangat kesal kepada teman-teman sekosanku yang tak mau beres-beres di kosan. Aku lantas menyimpan tas dan berganti baju di kamar yang terletak di bagian depan rumah. Ketika aku ingin buang air kecil dan mengambil air wudu di toilet. Nampak di dapur lebih luar biasa kulihat, seperti terkena gempa 7,9 sekala lihter, tapi tidak berpotensi Tsunami. Semua perabotan berserakan di lantai. Cucian piring dimana-dimana plus sampah bekas mie instant. Semua itu adalah ucapan selamat datang bagiku. Selamat datang sampah, toilet yang super jorok, cucian baju dll. Begitu berkesannya perjalanan hijrahku kembali ke Bandung. Penuh duka, suka, dan kesal. Aku akhiri perjalananku dengan membersihkan dan membereskan seisi kosan. Kalau bukan aku lantas siapa lagi? Itupun demi kenyamananku juga.
*****
2 comments:
lelah dan menyebalkan, dan saya beri tepuk tangan untuk kesabaranmu prok.prok.prok :)
Hahaha..makasih ya kakak *bari ngrorong :-)
Post a Comment