Tuesday, January 22, 2013

Dibalik Senyuman Itu

Hari itu aku berkunjung ke rumah nenek dan kakekku. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter saja dari rumahku. Aku berniat untuk sekedar bersilaturahim dan menjenguk mereka. Aku suka memanggil mereka dengan panggilan Emak dan Aki, sebuah panggilan khas sunda untuk orang yang sudah sudah lanjut usia. Aku sendiri adalah cucunya tersayang dan suka di panggil dengan sebutan Ujang oleh Emak dan Aki.

Sesampai di depan rumahnya, Emak terlihat sedang tidur di sebuah kursi kayu sederhana di dalam rumah. Dan aki sedang berada di dapur waktu itu. emak memang sudah lama sakit stroke, yang aku ingat beliau sudah sakit semenjak aku masih duduk di bangku Mts dulu. Untuk berjalan saja emak harus berpegang ke dinding atau ke meja-meja. Sementara aki, alhamdulilah beliau masih sehat dan bugar. Akilah yang selama ini merawat emak. Bahkan diumurnya yang sudah renta beliau masih kuat untuk pergi ke sawah, mencangkul sawah, dan melakukan aktifitas lain di sawah.

Mereka sendiri sudah lupa dengan usia mereka. Yang aku tahu usia mereka sudah lebih dari kemerdekaan Bangsa ini. Berarti sudah lebih dari 64 tahun. Aku lantas berbincang dengan Emak sambil bersalaman dan mencium tangannya.


Aku sangat sedih sekali bila melihat keadaan mereka sekarang, emak yang sedang sakit, aki yang sudah tua renta, ditambah lagi tempat tinggal meraka yang sempit dan sederhana. Biaya hidup mereka didapat dari hasil sawah aki, dan terkadang dari pemberian orang. Betapa mirisnya, sampai air mata ini tak terasa keluar dari kelopak mataku, aku berkata dalam hati. Emak aku janji bila aku sudah sukses nanti aku akan memberikan penghidupan yang lebih layak untuk emak, dan aki tak usah pergi kesawah lagi.


Aku duduk disamping emak dan di beliau berkata,

“ Di Cibiru mak, di cibiru,” jawabku berlulang-ulang karena pendengaran emak sudah sedikit berkurang.
“ Iraha bade ka Bandung dai.”
“Engkin Jumat mak kaping 18 Januari.”
“ Sabaraha urang anu ngontrakna, diditu osok masak?”
“ 5 orang mak, di ditu gaduh Magicom 1 nya ku salareawe.”
“ Jadi, di ditu Ujang ngontrak bumi, satahuna sajuta, da sareng urang kidul dai mak,” tambahku.

Di tengah perbincangan, Emak mengeluarkan perkataan yang membuat hatiku berguncang karena bersedih.

“Muhun mak, doakeunwe Ujang 4 tahun mudah-mudahan sing tiasa wisuda sareng jadi sarjana aaminn,” kataku.
“Emh, kaburu maot mereun emak nage,” sambil tersenyum, emak mengeluarkan kalimat itu dan membuat hati ini kembali luruh dengan kesedihan. Aku tahu dibalik senyuman itu menyimpan suatu pesan bahwa emak ingin sekali masih tetap hidup dan menyaksikan cucu tercintanya berbahagia di hari wisudanya kelak.

Aku menjelaskan. ” Emak da maotmah tos diatur ku Pangeran, emang sing sabar sareng kedah tawakal di mana engkin emak ngahadepan maot. Sawios pami eta tos takdirnamah, tapi Emak ulah nyebat kitu pamali mak,” Emak pun kembali memperlihatkan senyumannya seolah bangga karena cucunya sudah lebih dewasa dibanding dulu.


Seketika akupun memanjatkan doa dalam hati. “ Ya Allah, ijinkan mereka untuk tetap hidup dan dapat merasakan kebahagiaanku nanti setelah aku wisuda. Lalu aku sungkem dibawah kakinya dan berkata Emak dan Aki alhamdulilah aku sudah lulus kuliah. Terima kasih atas segala doa kalian selama ini, sehingga aku bisa berjalan tegap meninggalkan Almamaterku dengan menyandang titel sarjana.


Begitu harunya pertemuanku dengan emak dan begitu berkesan dalam hati. Sehingga membuatku tersadar bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu mendoakan aku tanpa perlu aku minta sekalipun dan meraka selalu berharap kebahagian untukku. Tentunya orang tuakupun demikian. Tak lupa akupun mendapat satu kesimpulan lagi bahwa kita sekarang hidup dalam dunia yang fana, dan kelak kita pasti akan kembali kepadaNya.


Selalu Ingin Memberi


Jumat ini aku akan kembali ke Bandung. Emak bersikeras sekali ingin memberiku uang untuk bekal nanti. Walau aku menolak dan berdalih lebih Emak simpan saja untuk keperluan nanti, tapi Emak tetap saja bersikeras. Akhirnya aku pun tidak dapat menolak.


Uang itu memang tidak terlalu besar jumlahnya Rp.100.000. Sebenarnya sangat lebih berarti bila dipakai untuk kebutuhan Emak. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak bisa menolaknya. Aku terjemahkan dari pemberian itu, bahwa bukan nominal yang emak hitung tapi rasa selalu ingin memberi dan memberikan kebahagian kepada cucunya. Itulah yang aku rasakan. Meskipun sedang dalam kondisi pas-pasan, tapi jiwa selalu memberi, akan selalu tetap memberi meski itu dalam jumlah sedikit.

Perbincangan itu menutup perjumpaanku dengan emak, aku pun harus segera kembali karena matahari akan kembali ke peraduannya. 

Terima kasih sekali lagi emak, engkau memang emak no. 1 di dunia ini.

kamis, 17 junuari 2013



*****

No comments: