Saturday, November 24, 2018

Berkunjung ke Kebun Kopi Manglayang


Kebun Kopi Manglayang
Foto: Adi Permana
 

“Kopi Manglayang punya citarasa yang unik. Sebab tumbuh di antara pepohonan pinus. Aromanya juga sedap, apalagi jika ‘disuruput‘ saat senja”






Sejauh mata memandang hamparan tanaman kopi membentang luas di antara pepohonan pinus di kaki Gunung Manglayang. Tanah tempat berpijak masih basah karena hujan semalam. Angin yang masuk di antara dedaunan mengantarkan oksigen segar untuk dihirup.

Dari kejauhan, beberapa petani sayuran dan kopi sedang sibuk mengurusi kebunnya. Sejak matahari masih malu-malu keluar dari ufuk timur, petani kopi di Manglayang sudah berkemas dan bergegas. Ya, mereka harus memeriksa betul kondisi kebun kopinya, karena bulan depan akan segera memasuki panen raya kopi.

Pada Minggu (11/2) pagi itu, sayasaya berkun ke sebuah perkebunan kopi yang berada tepat di kaki gunung Manglayang. Segelas kopi arabika panas yang disajikan dengan cara ditubruk, menemani perbincangan hangat bersama Teni Supardi, salah seorang pegiat kopi di daerah itu.

“Tanaman kopi di sini sebenar lagi akan dipanen, sekarang  buahnya masih hijau mungkin sekitar bulan Maret – April baru akan panen raya,” kata Teni sambil mengajak menyusuri luasnya hamparan kebun kopi tersebut. Perjalanan saya kala itu tak sendiri, tapi ditemani enam orang pegiat kopi lainnnya di sekitar kawasan Cibiru, Kota Bandung.

Teni menceritakan, kebun kopi Manglayang mempunyai luas sekitar 200 hektar lebih. Dan bahkan lebih luas lagi karena Gunung Manglayang membentang dari Lembang sampai Jatinangor. Tanaman kopi di sana berumur sekitar tiga tahun. Buahnya masih hijau-hijau meskipun ada beberapa yang sudah mulai merah. “Yang siap panen itu kalau semuanya sudah merah seperti buah Cherry,” tuturnya.

Kopi di sini berjenis arabika. Karenanya di tanam di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Berbeda dengan kopi jenis robusta yang cocok ditanam di dataran lebih rendah. “Ketinggian Gunung Manglayang kan 1.818 mdpl, ini di bawahnya sekitar 1.500 mdpl,” ucapnya.

Sejarah

Di wilayah Bandung Raya, setidaknya ada tiga kopi yang sudah terkenal. Ialah kopi Gunung Tilu di Pangalengan,  Kopi Gunung Puntang, dan Manglayang. Dari ketiga itu yang terkenal bahkan sampai tembus ke dunia internasional ialah kopi Gunung Tilu.

Sementara untuk kopi Manglayang sendiri bisa disebut baru muncul. Petani di sini baru menanam kopi pada 2014 lalu. Jenis tanaman kopinya ialah Sigararutang karena bibitnya berasal dari Medan. Sebelum bertani kopi, mereka lebih memilih menanam sayur-sayuran. Namun karena sudah dirubah menjadi Kawasan Bandung Utara (KBU) aktivitas bercocok tanam sayuran dilarang sehingga beralih ke tanaman kopi.

Pelopor petani yang menanam kopi di sini ialah Abah Udin. Namun sayang, saat berkunjung ke kebun dan rumahnya ia sedang tidak berada di lokasi. Namun dari penuturan Teni, Abah Edilah yang mulanya mengenalkan kopi kepada petani sayuran di sekitar kaki gunung Manglayang. “Petani di sini hanya punya hak kelola, karena tanahnya milik perhutani,” ucapnya.

Teni menjelaskan bahwa yang unik dari tanaman kopi di Manglayang ialah ditanam di antara pohon pinus. Sehingga aromanya pun jika biji kopi sudah diproses ada aroma pinus. Tanaman kopi sendiri, lanjutnya, memang membutuhkan pohon pelindung. Agar tidak terlalu terkena sinar matahari secara penuh. “Kopi itu hanya butuh 60 persen sinar matahari, fungsi adanya pohon pelindung karena jika musim kemarau tidak akan mudah mati, dan menjaga kelembaban tanah,” ujarnya.

Pra Panen Raya

Kopi di Manglayang rata-rata berusia tiga tahun. Dalam satu hingga dua bulan ke depan petani di sini akan mulai panen raya kopi. Jika dihitung kasar, perpohon kopi bisa menghasilkan buah kopi sebanyak 3 kilogram. Dalam satu hektar kopi, sedikitnya bisa ditanam 2 ribu pohon. Maka dalam satu hektar saja bisa menghasilkan kopi sebanyak 6 ton.

Kebun Kopi Manglayang
Foto: Adi Permana


Namun menurut Teni, para petani kopi di sini hanya bisa sampai menjual gabah basah. Sehingga harganya pun murah. Satu kilo gabah basah dijual kisaran Rp 24.000 – Rp 27.000. Berbeda jika sudah melalui proses lainnya sampai menjadi green bean bisa naik 100 persen dari harga gabah basah.

“Kesejahteraan petani di sini masih kurang karena hanya bisa menjual gabah basah yang harganya murah. Jadi hanya cukup menutupi biaya produksi selama setahun. Ideal bisa memproses sendiri,” ungkapnya.

Saya kemudian bertemu salah satu pegiat kopi, Robby Darmawan. Ia mengungkapkan, bahwa para petani di sini sudah punya kelompok tani bernama Mulyasari. Ada puluhan petani kopi yang masuk di sana. Menurut Robby, para petani itu sangat membutuhkan sebuah mesin huller yang berfungsi mengubah gabah kering menjadi green bean. 
Foto: Adi Permana

“Banyak petani yang masih menjual dalam bentuk gabah basah. Karena tidak punya alat proses kopi yang memadai. Yang penghasilannya hanya bisa menutupi ongkos operasional setahun,” katanya.

Robby mengatakan, apabila petani punya alat proses kopi seperti mesin huller maka petani bisa memproses kopi dalam bentuk green bean yang hanya bisa dua sampai tiga kali lipat dari harga gabah. “Sehingga kesejahteraan petani bisa ditingkatkan,” ucapnya. Selama ini pun ia hanya bisa menerima dalam bentuk gabah kering, sehingga masih butuh alat pemroses lagi.

Ia menuturkan, dengan promosi kopi yang luar biasa saat ini, namun nyatanya tidak sampai pada peningkatan taraf hidup petani. Petani masih saja belum sejahtera. Padahal kopi bisa bagus bahkan sampai tembus ke dunia internasional berkat para petaninya. “Ini perlu dorongan dari pemerintah, masyarakat dan pelaku kopi agar lebih mementingkan para petani,” pungkasnya.

Kopi Manglayang
Foto: Adi Permana


Kopi memang tengah digandrungi oleh kaula muda. Di Bandung saja, sudah tidak akan sulit menemukan coffe shop atau tempat ngopi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat banyak acara untuk mengenalkan kopi, seperti Ngopi Saraosna. Bahkan pada Desember 2017, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan membagikan 5 juta bibit kopi untuk petani di Jabar. Namun ternyata, dari kopi yang saban hari kita minum, ada kerja keras petani yang terlupakan kesehatannya.

 —

Catatan: tulisan ini sudah dimuat di HU Galamedia edisi 12 Februari 2018. Versi online-nya juga ada di website http://www.galamedianews.com

No comments: