Pernahkan kita mendengar kata-kata, suit..suiiiit, neeeeeeeeeng, neng cantik saat ada wanita cantik atau bertubuh indah di jalan? Atau pernahkah kita memberi komentar tentang tubuh wanita di tempat umum? Mulai saat ini jangan pernah lakukan hal itu, karena termasuk ke dalam kategori pelecehan.
Street Harassment atau pelecehan di jalan merupakah suatu perbuatan yang sering dialami oleh perempuan. Selain panggilan menggoda, bentuk pelecehan perempuan di jalan bisa berupa mengedipkan mata, bahkan menyentuh salah satu tubuh perempuan.
Berangkat dari situlah berbagai komunitas yang peduli terhadap perempuan, menggagas 16 Hari Kampanye anti Kekerasan terhadap Perempuan, akhir November lalu.Acara tersebut juga menjadi ajang untuk mensosialisasikan pentingnya ‘memadamkan api’ tindakan pelecehan terhadap perempuan.
Bagi Triasasuci dari Praxis in Community, umunya korban dan pelaku tidak sadar ada pelecehan kepada perempuan di jalan. Karena hal itu sudah dianggap biasa.“Padahal dengan adanya pelecehan di jalan bisa mengakibatkan korban tidak percaya diri saat berada di ruang publik,” ujar Trias dalam talk show ‘Nama Saya bukan Neng!’ di Balubur Town Square (Baltos).
Komnas Perempuan pernah mendata setidaknya ada 300 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Dan 90 Perda di antaranya terjadi di Jawa Barat. Hal itu seperti yang diungkapkan Founder Komunitas Jakatarub, Wawan Gunawan. Menurutnya, selama ini perempuan selalu jadi korban ketidak adilan, korban marginalisasi. “Kami melihat ada banyak sekali produk perundang-undangan yang tidak pro terhadap perempuan,” ujarnya.
Sementara itu Andi Yentriani dari Komnas Perempuan, memaparkan ada dua kategori pelecehan terhadap perempuan tertinggi di Indonesia. Pertama kekerasan dalam rumah tangga dan kedua di ruang publik atau masyarakat. “Setiap tiga jam sekali terdapat dua perempuan yang mendapat tindak kekerasan,” tambah Andi.
Kekerasan publik seperti pelecehan di jalanan memang tidak banyak yang disadari, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Oleh karenanya menurut Antonius Sartono dari Trainer Mintra Perempuan mengatakan, harus adanya kontrol terhadap diri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Sehingga ada pemaknaan yang sama bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara.
“Jika melihat orang di jalanan memanggil manggil perempuan dengan sebutan ‘neng’ itu hal biasa apalagi di Jawa Barat yang berbahasa Sunda. Tetapi jika membubuhi panggilan ‘neng’ dengan pikiran yang berbeda tentu ada makna yang berbeda misalnya untuk menggoda,” kata Antonius.
Untuk menyikapi pelecehan di jalan, menurut Triasasuci sebaiknya perempuan memiliki sikap yang tegas, sehingga pelaku pelecehan tidak melanjutkan aksinya. Selain itu pola pikir masyarakat tentang tubuh perempuan juga harus dibenahi. “Relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan karena adanya budaya patriarki, mengharuskan tubuh perempuan menjadi perbincangan sehari hari dan menjadi objek yang ditatap,” ujarnya.
Rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dimulai 25 November dan berakhir di hari HAM Internastional 10 Desember yang lalu. Acara tersebut tersebar di beberapa tempatdi Bandung selama 16 hari. Juga terdapat pengumpulan petisi untuk menolak berbagai kekerasan yang dialami perempuan.Ditulis dalam selembar kartu pos yang nantinya akan diberikan kepada pemangku kebijakan.
Adi Permana
No comments:
Post a Comment