Thursday, March 19, 2015

Pesan Jurnalisme di Film Nightcrawler

Ada yang bilang bahwa menjadi jurnalis atau wartawan itu mudah. Kita tinggal mencari data, lalu ditulis, dan dipublikasikan. Ada juga yang bilang menjadi wartawan itu susah. Karena tuntutan profesi wartawan penuh dengan resiko dan tangggung jawab besar. Seperti halnya tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik.

Ya, kedua ungkapan itu memang benar. Di era serba canggih seperti sekarang, mejadi wartawan memang mudah. Kita bisa dengan mudah menulis dan mengabarkan suatu hal kepada orang lain dengan berbagai pelantara. Sebut saja media sosial atau blog. Atau kita bisa membuat sebuah video tentang peristiwa tertentu, lalu disebarkanlah kepada khalayak. Bisa dengan mengirimkannya ke televisi swasta—biasanya disebut citizen journalist—atau langsung meng-upload-nya di Youtube.

Di film Nightcrawler besutan Dan Gilroy, profesi wartawan digambarkan seperti itu. Adalah Louis Bloom (Jake Gyllenhaal), seorang warga biasa yang tiba-tiba tertarik dan menjadi seorang wartawan lepas (journalist freelance). Padahal pekerjaan sebelumnya adalah seorang pencuri. Ia tidak mempunyai basic sama sekali di dunia jurnalistik.

Keinginan Bloom untuk menjadi seorang wartawan terlihat saai ia secara tidak sengaja melihat kecelakaan lalu lintas di jalan. Lalu ia berhenti dan melihat beberapa wartawan yang meliput kejadian itu. Ia bahkan sempat menanyakan lowongan pekerjaan pada jurnalis itu. Namun lamarannya ditolak mentah-mentah.

Ia kemudian bertekad untuk memulai merintis sendiri perofesi wartawan lepas. Selang beberapa hari, untuk mencari modal, ia kembali mencuri sebuah sepeda, dan menukarkannya dengan sebuah radio komunikasi yang digunakan polisi dan sebuah kamera perekam. Sejak saat itulah ia mulai mencari berita dengan identitas wartawan lepas.

Film tersebut menjelaskan, bahwa di Amerika berita yang selalu memiliki ratting tinggi adalah berita kriminal (pembunuhan, kekerasan, pencurian, kecelakaan dll). Sehingga hal itulah yang mendorong Bloom untuk terjun ke wartawan kriminal yang bekerja di malam hari. Sebagai sumber informasi, yang ia gunakan adalah radio yang bisa menangkap frekuensi komunikasi polisi yang sedang bertugas.

Selama menjadi wartawan lepas, ia dibantu oleh seorang asisten, Rick (Riz Ahmed) sebagai penunjuk arah dan jalur. Berita yang dibuatnya kemudian dikirimkan ke KWLA News yang dipimpin Nina (Rene Russo). Karirnya semakin cemerlang saat rekaman yang ia kirimkan diapresiasi oleh Nina. Bahkan Bloom sengaja membeli mobil sport yang canggih dan cepat untuk memudahkan kerjanya.

Saat mencari berita, angel yang ia rekam tidak melulu tentang peristiwa. Tapi lebih memilih cerita di balik peristiwa. Hal ini yang patut dicontoh oleh para jurnalis. Karena jika harus melulu soal peristiwa pasti wartawan lain pun begitu. Tetapi jika mengangkat cerita di balik peristiwa, berita yang dibuat akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

Selain itu soal kecepatan mencari berita, dalam film ini juga patut dicontoh. Bagaimana Bloom selalu berlomba-lomba dengan wartawan lepas lainnya, bahkan dengan polisi pun ia berlomba adu cepat ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Semangatnya ini patut ditiru. Bloom selalu ingin agar Nina tidak kecewa dengan hasil liputannya. Karena Nina selalu menginginkan berita yang aktual dan tidak dimiliki oleh media lain.

Menanggapi hal itu, Michael Oreskes dari New York Times mengatakan, persaingan bukanlah hal baru bagi wartawan. Demikian pula bekerja dengan kecepatan tinggin. Wartawan harus mampu menghasilkan tulisan yang dapat dipercaya dalam keadaan tekanan waktu (Luwi Ishwara, 2011; 41).

Namun ada hal yang tidak patut dicontoh dalam film ini, yaitu saat Bloom merasa tersaingi dengan beberapa wartawan lepas lainnya. Ia membuat rem pada mobil pesaingnya itu blong, dan berakhir pada kecelakaan parah. Ternyata persaingan yang dilakukan Bloom tidak sehat. Bahkan asistennya sendiri juga menjadi korban ketika Rick tertembak saat meliput kejadian adu tembak antara polisi dan penjahat. Saat itu Rick menuntut gaji tinggi kepada Bloom.

Meskipun rekaman yang dilakukan Bloom mengangkat cerita di balik peristiwa, ternyata yang ia lakukan adalah memanipulasi peristiwa. Hal itu terlihat saat Bloom merubah susunan foto di lemari pendingin pada sebuah kejadian penembakan di suatu rumah. Juga saat ada tabrakan mobil, ia bahkan sengaja menyeret korban agar masuk pada frame yang ia inginkan. Tentu itu sangat melanggar Kode Etik Jurnalistik dengan mengabarkan tidak sesuai fakta yang ada.

Pada film tersebut jelas mengungkapkan bahwa, walapun jurnalis dituntut untuk lihai dalam mencari angel berita. Tapi bukan berarti jurnalis harus memutar balikan fakta. Sehingga beritanya memiliki nilai jual yang lebih besar. Jika sudah begitu, berarti bukan nila-nilai kebenaran yang dijunjung tinggi, tapi soal ratting. Jelas pemikiran semacam itu sudah tidak sehat bagi seorang wartawan dan media massa.

Tapi mungkin, apa yang dilakukan Bloom bisa menggambarkan kepada kita, bahwa segala pemberitaan yang kita baca dan saksikan saat ini, mungkin saja melalui proses yang seperti Bloom lakukan, yaitu mengarang cerita. Atau ini menjadi pesan tersendiri bagi kita bahwa ternyata profesi yang selalu diagung-agungkan, di dalamnya terdapa oknum-oknum yang bobrok tingkahnya. Makanya untuk urusan ini, tentu kita seharusnya lebih cermat dan skeptis lagi terhadap informasi yang ada di media massa.

Film yang keluar pada 2014 ini, layak untuk ditonton. Terutama bagi jurnalis dan calon-calon jurnalis. Film ini begitu menggambarkan bahwa kerja jurnalis itu tidak mudah. Kita mungkin hanya mengetahui ada peristiwa tertentu yang diberitakan di media massa. Namun kita tidak tahu bagaimana sebuah peristiwa terjadi dan jurnalis meliputnya.

Mari menonton film...

No comments: