UIN SGD Bandung |
Pernahkah kalian mendengar istilah itu? Ya, itulah visi kampus UIN SGD Bandung. Sebuah paradigma penuh esensi yang sarat akan makna dan tujuan luhur. Mungkin sebagian dari mahasiswa UIN SGD Bandung akrab dengan istilah itu. Tapi tak menutup kemungkinan ada juga yang tak kenal sama sekali, sungguh ironis.
Ketika
saya pertama kali mendengar istilah itu, saya langsung takjub. Kenapa? Karena saya
beranggapan bahwa ilmu yang akan disajikan kampus ini adalah ilmu yang tak terlepas
dari moral dan nilai-nilai agama.
Kita patut apresiasi akan visi itu. Karena visi itulah yang menjadi identitas penting bagi sebuah lembaga pendidikan bernafaskan Islam. Tapi di sisi lain, kita juga patut mengkritisi akan fenomena nyata yang terjadi di lingkungan kampus. Apakah visi itu sudah terlaksana? Apakah visi itu sudah digaungkan oleh seluruh civitas akademik? Apakah visi itu hanya sebatas slogan semata? Jawabannya masih abu-abu! Sebab masih banyak praktek-praktek yang tak sesuai dengan visi yang digencarkan itu.
Misalnya di kehidupan mahasiswa. Nyatanya justru tak sejalan dengan prinsip visi kampus yang begitu luhur. Ada semacam degradasi nilai-nilai agama yang terlihat. Di suatu kesempatan, saya pernah mendengar dari selentingan masyarakat sekitar kampus yang murka dengan kelakuan mahasiswa laki-laki yang bertamu ke kosan perempuan sampai larut malam. Kemudian ada juga masyarakat yang menggrebek mahasiswa yang sedang mandi berduan di kosan.
Dua
contoh itu menggambarkan bahwa kelakuan mahasiswa tak sejalan prinsip kampus
ini. Imbasnya tak terelakan; mahasiswa dan kampus yang mendapar stigma negatif.
Citra kampus akan tercoreng walupun pelakunya adalah oknum yang tak tahu diri
dan tak tahu status diri sebagai seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam.
Itu menunjukan bahwa visi kampus ini masih di luar kenyataan. Oleh karenya
perlu koherensi antara kampus dan mahasiswa. Seperti kebijakan guna menyikapi fenomena yang terjadi
supaya nama kampus tidak lagi tercoreng.
Padahal
saya dulu ketika belum menjadi mahasiswa di kampus ini, begitu ketakutan dengan
label Islamnya yang melekat. Pasti banyak hapalan Al-Qur’an dan materi-materi
tentang Islam yang berat. Tapi nyatanya tidak seperti yang dikhawatirkan.
Sekarang itu semua bukan jadi sebuah ketakutan, melainkan sebuah pertanyaan
besar. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan kampus ini. Apakah karena
transformasinya menjadi universitas yang menjadikannya kampus yang liberal?
Entahlah.
Semoga
visi “Wahyu Memandu Ilmu” bukan sebatas slogan yang memenuhi brosur pada saat
musim penerimaan mahasiswa baru. Tapi visi itu menjadi nilai yang bisa
membangun kampus yang berlabelkan Islam ini kearah aplikasi nyata yang tidak
pragmatis. Dan mahasiswanya sadar akan kedudukannya sedang kuliah di mana. Semoga.
Tulisan
ini dapat kalian baca di Tabloid LPM Suaka edisi Februari 2014 pada Rubrik
Kolom.
No comments:
Post a Comment