Ilustrasi/Dok.Net |
Oleh Adi Permana*
Pada suatu kesempatan, penulis pernah
menjumpai suatu aksi demontrasi di sebuah kampus negeri di Bandung. Para demonstran itu adalah mahasiswa yang
tergabung dalam sebuah forum yang tak bisa disebutkan namanya. Mereka terus
berorasi dan berkoar-koar seolah tak takut pita suaranya putus. Tidak hanya
berorasi, mereka juga melakukan longmarch
mengelilingi kampus. Mereka mengajak mahasiswa lainnya untuk ikut turun
beraksi.
Tapi sayag, aksi mereka tak begitu
ditanggapi oleh para mahasiswa lain. Mereka—yang berdemontrasi—diacuhkan begitu
saja, tak digubris sama sekali. Hanya ditonton seperti menonton aksi doger
monyet.
Fenomana demikian menunjukan bahwa mahasiswa
tak lagi antusias dengan aksi turun ke jalan, atau dengan kata lain apatis.
Mungkin saat ini bukan masanya. Boleh kalian beranggapan bahwa demonstrasi
dalam sejarah sudah menghasilkan banyak prestasi. Seperti turunnya rezim Orde
Baru di bawah kuasa Soeharto pada Mei 1998, yang lengser akibat aksi mahasiswa
yang menduduki gedung Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) RI menuntut agar Soeharto
turun dair jabatan presidennya. Tapi itu adalah aksi yang
terakhir ketika aspirasi kita tak ditanggapi setelah menempuh beberapa cara
lain. Ulangi, dengan cara lain yang telah ditempuh. Misalnya dengan
audiensi yang sebelumnya melayangkan surat, melalui tulisan dan lainnya. Pada
intinya ada beragam cara untuk menkampanyekan aspirasi kita. Jangan terlalu
picik pikiran bahwa menyampaikan aspirasi hanya dengan berdemo. Tidak sama
sekali.
Tapi bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan
ini, kembali kepada aksi demontrasi di sebuah kampus itu. Setelah mereka
berkeliling, akhirnya mereka tiba di tempat para birokrasi bersemayam. Mereka
terus bernyanyi tentang demokrasi, kebebasan, pergerakan, revolusi dan lainnya.
Tapi ada satu hal yang ingin penulis singgung dalam tulisan ini. Mereka tidak
melakukan aksi yang sesuai dengan status sosial mereka sebagai seorang
mahasiswa. Mereka tidak menggambarkan diri mereka sebagai seorang yang intelek.
Betapa tidak, mereka mengkritisi birokrat dengan kata-kata “Anjing, bangsat,
goblok.” Apakah itu yang dimaksud seseorang intelek yang mempunyai kedudukan
sebagai mahasiswa.
Ironis, itulah yang bisa digambarkan
dengan fenomena demikian. Kata-kata itu harusnya tak keluar dari mulut seorang
akademisi yang menjunjung tinggi nilai intelektualitas. Apakah mereka tidak
malu? Atau rasa kemaluan mereka sudah hilang seiring hilang pula kemampuan
berpikir sehatnya. Dengan tingkah laku seperti demikian, status
sosial mereka bukan lagi sebagi seorang
mahasiswa, tapi sebagai manusia yang tak berpendidikan yang tak punya nilai
moralitas terhadap makna luhur seorang akademisi. Karena bahasa-bahasa seperti
“anjing” adalah bahasa yang sering digunakan manusia di jalanan, berarti mereka
tak jauh beda dengan itu.
Pepatah bijak pernah mengatakan, bahasa
mencerminkan kepribadian seseorang. Sederhananya apa yang sehari-hari kita
ucapkan adalah cerminan siapa diri kita sebenarnya. Maka berhati-hatilah dalam
berbahasa. Lihat dengan siapa Anda berbicara, pahami status sosial Anda sebagai
apa? Jika status Anda sebagai seorang mahasiswa, berbahasalah dengan baik,
berperilakulah dengan sopan sebagaimana seorang akademisi.
Dalam tulisan ini, penulis bukan tidak setuju
dengan adanya aksi demonstrasi. Secara prinsip penulis begitu mengapresiasi,
karena masih ada orang-orang yang kritis, yang mau mengkritisi dan tidak
apatis. Tetapi mari kita pahami bersama-sama bagaimana demonstrasi yang seharusnya.
Kalau bisa berdemo dengan cara baik, menggunakan bahasa yang baik, kenapa juga
harus menggunakan bahasa kasar dan kotor. Kenapa juga harus ada pembakaran ban?
Apa esensi yang di dapat dari aksi semacam itu? Tidak ada sama sekali.
Bagi penulis, itu semua telah mencederai
nilai-nilai agung pendidikan yang telah dijalani semenjak Sekolah Dasar dan sampai
menjadi seorang mahasiswa. Boleh mereka mengaku-ngaku sebagai seorang aktivis
yang mengingkan akan perubahan. Semua itu hanya tong kosong nyaring bunyinya.
Tidak ada perubahan yang hakiki, yang ada hanyalah kepentingan yang
mendominasi.
Mungkin mereka beranggapan bahwa dengan cara
seperti itulah aspirasi mereka bisa sampai. Justru tidak, yang ada adalah
hujatan demi hujatan yang akan dilayangkan kepada mereka. Dan yang dikritisi
pun pasti sudah paham betul bagaiman skema politik yang para demontran lakukan. Demonstrasi semacam itu tak ada gunanya sama sekali, hanya
sekedar mendapat simpati saja dari yang kebetulan melihat. Tapi esensinya tidak
ada sama sekali. Gunakanlah akal sehat, gunakanlah cara yang lebih efisien tapi
tanpa menghilangkan nilai efektivitasnya. Berpikirlah kreatif, jangan berpikir mainstream.
Sekian, semoga bermanfaat.
*Penulis adalah mahasiswa tingkat 2,
seorang mencinta Anime Naruto, aktivis lingkungan, Ranger
Merah yang pemberani, berambut gondrong dan suka pengaji.
No comments:
Post a Comment