Belum
lama ini kita disibukan dan dibuat resah oleh pemberitaan di media massa.
Terutama pemberitaan mengenai kasus korupsi. Isu-isu dan kasus yang berkembang
seolah terdapat setting dari media massa. Pengalihan isi pemberitaan
menjadi hal yang perlu dikaji dan dianalisi secara cermat. Alih-alih rating
menjadi alasan yang kuat dalam isi pemberitaan.
Salah satu kasus yang pernah terjadi yakni kasus Bank Century. Setelah sekian lama tak terdengar kabar, akhirnya baru-baru ini menguap kembali ke permukaan. Beberapa elite politik ternyata ikut masuk dalam daftar hitam. Pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun berlanjut. Seolah menemui titik cerah, optimisme terhadap penyelesaian kasus ini pun kian terbuka. Media massa begitu antusias memberitakan perkembangan kasus ini. Di media cetak apalagi, kasus ini sempat beberapa kali menjadi headline.
Tetapi beberapa hari kemudian, arah pemberitaan media massa berbelok. Munculah sebuah kasus baru yang menggemparkan lembaga hukum negeri ini. Kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi topik menarik dalam pemberitaan di media massa. Khalayak kembali digiring menuju pemberitaan yang lain.
Khalayak yang tidak begitu cermat dan kritis terhadap pemberitaan tersebut mugnkian akan menerimanya begitu saja. Sebagaimana yang disuguhkan oleh media massa. Tanpa merasa ada keganjilan. Tetapi bila kita kritisi dan kaji secara cermat, ada setting-an tersendiri yang dilakukan oleh media massa. Yang kemudian dipopulerkan oleh sarjana-sarjana komunikasi sebagai teori Agenda Setting.
Hubungan yang kuat antara berita yang disampaikna media dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik merupakan salah satu jenis efek media massa yang paling populer yang dinamakan dengan agenda setting. Istilah “agenda setting” diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972, 1993), dua peneliti dari Universitas North Carolina, untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu) yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut.[1]
Media massa mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif individu. Asumsi dasar teori ini yakni jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa atau isu, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting oleh media massa, maka dianggap penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.[2]
Agenda setting menjelaskan betapa besarnya pengaruh media massa berkaitan dengan kemampuannya memberitahukan khalayak terhadap isu-isu apa saja yang dianggap penting. Seperti pemaparan kasus di atas, media massa mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dari satu isu ke isu yang lainnya. Mulanya kasus Bank Century yang hampir terungkap titik cerahnya, kemudian beralih pada kasus suap ketua MK.
Meskipun yang menjadi alasan yakni ratting, tetapi itu semua tidak terlepas dari agenda setting media massa. Memang rumit, karena media massa harus mengikuti perkembangan peristiwa yang hangat di masyarakat. Kalau tidak seperti itu sebuah media massa bisa jadi ditinggalkan pembaca.
Intervensi Pemilik Modal
Sebuah media massa tidak mungkin terlepas dari adanya kepentingan pemilik modal, karena dalam praktek kejurnalistikan mempunyai modal yang tidak sedikit. Ini menjadi catatan tersendiri. Di satu sisi seorang wartawan di media massa harus di tuntut untuk idealis, tapi di sisi lain mereka harus mengikuti mekanisme kepentingan pemilik modal.
Dari berbagai kasus, terpusatnya kepemilikan media di tangan segelintir pemodal bisa diajukan sebagai kambing hitam utama. Konsentrasi kepemilikan menyebabkan media kemudian (di)identik(kan) dengan pemiliknya. Anggapan bahwa agenda media merupakan manifestasi perwujudan agenda pemilik modal menjadi tak terhindarkan. Alhasil, prinsip jurnalistik yang dituntut untuk “objektif, independen, dan berimbang” perlahan mulai memudar. Mengikuti kepentingan-kepentingan pemilik modalah yang menjadi prinsip baru di dunia jurnalistik.
Intervensi pemilik modal juga memengaruhi pada agenda setting media massa. Sebenarnya tidak ada masalah bagi pemilik modal untuk “membeli” sebuah media massa. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah intervensi pemilik modal pada pemberitaan. Misalnya dalam kasus lumpur Lapindo. Salah satu stasiun televisi swasta mencoba untuk mengkritisi penyelesaian ganti rugi kasus korban lumpur Lapindo yang terendam rumahnya. Menurut stasiun itu, biaya ganti rugi tidak sesuai dan sebagian masyarakat tidak kebagian jatah.
Tetapi di stasiun televisi lain mengambil angel yang berbeda. Stasiun itu menganggap bahwa pemenuhan tanggung jawab PT. Lapindo terhadap ganti rugi masyarakat yang terkena dampak lumpur sudah dipenuhi. Justru TV itu menganggap ada oknum yang mecoba mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
Di satu media sebuah kasus bisa menjadi berita yang bernada positif, tetapi di media lain beritanya justru bernada negatif. Terkadang masyarakat akan kebingungan karena terjadinya distorsi berita, di mana masyarakat kesulitan harus percaya pada berita yang mana yang benar. Dalam kasus lumpur Lapindo di atas, ternyata ada “permainan” politik tersendiri. Pemilik modalah yang menjadi aktor utama dalam pemilihan angel sebuah berita. Kedua pemilik modal tersebut rupanya mempunya jabatan dalam politik yakni sebagai ketua partai politik. Tentunya ini merupakan permainan politik dengan menjadikan media massa sebagai alat politik.
Dengan demikian, jelas bahwa agenda setting dalam pemberitaan di media massa tidak bisa telepas dari pemilik modal. Terutama bila pemilik modal eksis pula di dunia politik. Media massa bisa jadi sebagai alat politik pemilik modal untuk sebuah pencitraan. Supaya mereka (pemilik modal) bisa mendapatkan suara dan posisi di pemerintahan.
*Penulis
adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN SGD Bandung. Aktif di Lembaga
Pers Mahasiswa SUAKA.
[1] Dennis
McQuail, McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage
Publication, 2000, dalam Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga
Massa, hlm. 488.
[2] Dennis
McQuail, McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage
Publication, 2000, dalam Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga
Massa, hlm. 490.
1 comment:
bagus sekali dan sangat membantu :D
Post a Comment