Gunung Pangrango dilihat dari Gunung Gede. Foto: Dede Lukman Hakim |
Hari
itu, wajah langit hampir tak ada yang berbeda, begitu bersahabat. Cerah dengan
sinar mataharinya seperti hari-hari sebelumnya. Tidak terlihat akan turun
hujan. Sebuah perjalanan yang sudah lama aku tunggu sejak kelas sebelas MA dulu
sebentar lagi akan dimulai, perjalanan pendakian menuju Gunung Gede Pangrango.
Jumat, 20 September 2013
Setelah
packing dan persiapan lainnya, kami
berangkat dari Bandung bersama sembilan teman lainnya yaitu Adam, Agvi, Dea,
Deni, Dede, Dedi, Rijal, Ridwan dan Sidik menggunakan Motor menuju Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas, Cianjur. Semuanya adalah teman satu
kelasku kecuali Ridwan. Aku dan Agvi yang sebelumnya punya pengalaman mendaki gunug, sisanya tak ada.
Akupun sengaja mengajak mereka yang belum pernah supaya punya pengalaman. Waktu
itu, sekitar pukul 16.30 WIB kami start dari kosan Sidik. Setelah berdoa
bersama kami akhirnya berangkat dengan enam motor.
Cuaca
sepertinya sedang tak bersahabat dengan kami, hujan akhirnya turun. Kami
istirahat sejenak tepat di perbatasan Bandung-Cianjur yakni di Sasak
Rajamandala. Waktu itu sekitar pukul 19.00 WIB. Setelah hujan reda kamipun
kembali melanjutkan perjalanan, walau akhirnya harus berhenti lagi karena hujan
kembali turun, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jas
hujan.
Sekitar
pukul 21.30 WIB kami tiba di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Kami memarkir motor disana meski biaya parkirnya lumayan mahal Rp 20.000 untuk
tiga hari. Tapi tak apalah yang penting motor kami aman.
Aku
kagum dengan balai itu, begitu luas, megah dan halaman kebunnya yang tertata
rapi. Kami bermalam di masjid kantor itu yang terletak di belakang bangunan balai.
Setelah menjamak Sholat, kami memasak mie untuk mengisi perut, sesudahnya kami
istirahat.
Sabtu, 21 September 2013
Suara
adzan Subuh terdengar keras, aku bangun untuk Shalat. Udara mulai terasa
dingin, tapi aku nekat mandi untuk bisa menyesuaikan suhu dengan tubuhku. Baru
setelah mandi Shalat Subuh. Setelah packing terlebih dahulu, kami menuju depan
kantor. Untuk sekedar merasakan kehangatan matahari pagi di Cibodas.
Kami
belum melakukan pendakian, karena belum mendapat SIMAKSI (Surat Izin Memasuki
Kawasan Konservasi). Perlu diketahui, bahwa TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango) sudah memberlakukan sistem booking online bila ingin melakukan
pendakian. Booking Online bisa dilakukan di website (Gedepangrango.org).Di
TNGGP mekanisme atau tata kelolanya memang ketat. Pendakianpun hanya bisa
dilakukan dua hari satu malam, tidak boleh lebih. Kalau lebih mungkin akan
dikenakan sanksi.
Tiga
minggu sebelum pendakian, kami sudah booking online terlebih dahulu, bahkan
untuk pembayaranpun sudah kami lunasi, dengan besar Rp. 5.000 per orang jadi
total semuanya Rp 50.000. Setelah itu, bukti transfer dikirim via email, lalu
data pendaki akan divalidasi. Setelah itu tinggal mengurus SIMAKSI. Pengambilan
SIMAKSI bisa dilakukan pas hari H pendakian.
Matahari
pagi begitu hangat dirasa, membiaskan rasa dingin kami. Udara pagi begitu sejuk
sekali jauh dari polusi. Suasana yang amat jarang aku rasakan di Bandung.
Walaupun masih bisa kami dapatkan di kaki Gunung Maglayang. Cukup dekat karena
tempat kuliahku tepat di kaki gunung itu.
Kantor mulai buka Pukul 09.00 WIB kerana hari libur. Biasanya –selain waktu libur—sudah buka sejak pukul 08.00 WIB. Dan waktu itu masih pukul 07.00 WIB.Waktu luang dibuang sayang, akhirnya kami sempat berfoto-foto dulu di depan kantor. Para pendaki yang lain sudah begitu ramai berdatangan sejak tadi pagi, ada juga yang sama dengan kami harus mengurus SIMAKSI dulu. Pintu masuk Cibodas yang akan menjadi jalur pendakian kami memang lumayan ramai waktu itu. Karena pintu masuk Gunung Putri ditutup sementara karena ada perbaikan jalur.
Dari kiri duduk : Saya, Deni, Dede, Sidik, Adam, Dea, Ridwan. Berdiri : Dedi, Agvi, Rijal (foto : Dede lukman) |
Dari
Informasi yang aku dapat, pintu masuk Cibodas hari ini sudah Full. Aku lupa
memberi tahu, kalau TNGGP selain sistem booking, juga sudah menggunakan sistem
kuota. Pintu masuk Cibodas 300 orang, Gunung Putri 200 orang dan Salabintana
100 orang perhari. Karena Pintu masuk Gunung Putri ditutup untuk sementara, jumlah kuota di pintu masuk Cibodas ditambah
jadi 500 orang per hari. Dengan jumlah sebanyak itu, kami sedikit khawatir
tidak akan kebagian tempat membuat tenda.
Waktu
sudah menunjukan Pukul 09.00 WIB, pintu kantor akhirnya dibuka petugas. Begitu
masuk, aku sedikit terkesima melihat ruangan kantor yang begitu indah dan
rapih. Ada kolam, kantin, ruang tunggu, meja kasir, dan miniatur Gunung Gede
Pangrango, beserta hewan-hewan yang di awetkan. Setelah memberikan foto copy
KTP, lalu mengisi Surat Pernyataan dengan materai Rp. 6.000 dan menyerahkan
bukti transfer akhirnya kami mendapat SIMAKSI. Sekitar Pukul 10.00 WIB kami
baru bisa melakukan pendakian menuju Pos 1.
Gerbang selamat datang, sebelum menuju Pos 1 |
Di
pos 1, SIMAKSI diperlihatkan kepada petugas sambil mendata barang bawaan kami.
Cuaca mulai sedikit mendung, tapi tak sampai turun hujan. Kami lanjutkan
perjalanan. Jalur pendakian di pintu masuk Cibodas tampaknya sudah terkelola
rapih. Jalan sudah tersusun rapih dengan batu-batuan yang dibuat seperti
tangga. Tracknya tidak terlalu berat
banyak bonus-bonus dengan jalan lurus.
Pukul
11.15 WIB kami tiba di Pos Talaga Biru. Sedikit beristirahat sambil
mengabadikan momen. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Rawa Gayonggong. Pos
Rawa Gayonggong merupakan jalur rawa. Rawa ini terbentuk dari bekas kawah mati
yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah
telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk tumbuhnya berbagai jenis
rumput-rumputan, terutama rumput Gayonggong yang mendominasi rawa ini.
kira-kira seperti itu menurut informasi di plang.Jalur rawa ini sudah dibuat
jembatan dengan tembok sekitar satu kilometer jaraknya. Perjalanan menuju pos
ini sekitar 20 menit dari Talaga Biru.
Jalur
pendakian semakin siang semakin ramai. Bukan hanya para pendaki tapi juga para
wisatawan yang akan menuju Curug Cibereum. Banyak pula aku menyaksikan pasangan
muda-mudi yang sedang asik berduaan. Turis asing pun tak sedikit kami jumpai.
Kami sampai di pertigaan antara Curug Cibereum dan Air Panas. Bila ingin ke
Curug Cibereum tinggal mengambil arah ke kanan dan bila ke Air Panas tinggal
mengambil arah lurus.
Pukul
14.00 WIB kami tiba di Pos Air Panas. Ibarat menemukan sumber air di gurun,
Gunung Gede Pangrango menawarkan bonus yang begitu melimpah. Air yang begitu
melimpah ditambah ada sumber air panas. Sepertinya rasa lelah dan udara yang
mulai terasa dingin di ketinggian sekitar 2.400 mdpl sedikit terobati. Air
panas tersebut berupa Air terjun disebelah kiri jalur, sedangkan dibawahnya
adalah jurang. Beruntung sudah dipasang tali pengaman di sisi kanan jalur
supaya memudahkan para pendaki melewati Air Panas tersebut.
Setelah
melewati air panas tersebut barulah terdapat selter dan disamping kiri selter
ada sungai dengan air panas pula tapi
tidak sepanas air terjun yang kami lewati. Kami beristirahat telebih dahulu
sambil merefleksikan tubuh dengan merendamkan kaki di air panas tersebut. Para
pendaki lain pun melakukan hal yang sama dengan kami.
Perjalanan
kami lanjutkan, karena begitu banyaknya para pendaki hari ini. sempat aku
bertanya kepada pendaki yang baru turun.
“
Mas, baru turun ? “ aku bertanya.
“
Iya,” jawab pendaki yang tidak aku tanya namanya.
“
Kalau di Kandang Badak, kira-kira bisa ngecamp di sana ? “ aku bertanya lagi.
“
Wah, udah penuh sekali mas, paling kalau mau di Kandang Batu aja, masih mending
kalau di Kandang Batu,” Ujarnya.
“Oh
makasih banyak Mas,” ucapku.
“
Iya sama-sama,” pungkasnya.
Seketika
dengan kondisi seperti itu, kami langsung membagi tim menjadi dua. Tim yang
pertama yang fisiknya lumayan kuat berada di depan membawa tenda dan langsung
membooking tempat untuk mendirikan tenda. Sedang tim yang kedua kebagian
membawa logistik. Setelah sepakat perjalanan kami lanjutkan. Aku kebagian di
tim pertama bersama Adam dan Ridwan.
Perjalanan
dari Air Panas menuju Kandang Batu tidak terlalu lama hanya 30 menit. Setibanya
di pos sekitar pukul 14.30 WIB kami mendirikan tenda. Sempat aku berebut tempat
mendirikan tenda dengan pendaki lain, tapi aku tak ingin urusan jadi melebar
dan memutuskan untuk mengalah saja, karena masih ada lahan kosong yang cukup
untuk dua tenda dengan kapasitas lima orang.
Di
gunung, kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan
tampak jelas, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan
dam keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau menjanya, rewel atau
tegarnya. Semua akan tampak di gunung.
Tenda
sudah terpasang, dan semua tim sudah berkumpul. Kami lanjut membuka logistik
lalu masak. Lanjut dengan Shalat jamak Ashar dan Dzuhur, lalu ngopi bareng. Aku
memasang Hammuk di belakang tenda. Hammuck seperti ayunan di pantai yang di
pasang dengan di ikat kedua sisinya ke pohon.
Malam
tiba, aku segera Shalat Maghrib dan menjamak Isha. Tapi sayang tak ada api
unggun karena dilarang dan tak ada suasana saling bertukar cerita saat api
unggun. Padahal aku rindu suasana itu, seperti saat aku mendaki ke Gunung
Ciremai. Langit mulai bergemuruh menandakan hujan akan turun, udara mulai
semakin dingin. Semua barang-barang dimasukan ke dalam tenda. Termasuk hammuck
yang sudah terpasang, rencananya aku akan tidur diatas hammuck, tapi karena
akan turun hujan dan sudah mulai terasa butiran-butiran air turun dari langit
akhirnya aku lepas Hammuck itu. Padahal sudah berat-berat aku bawa. Semuanya
harus tidur lebih awal karena dinihari nanti kami harus summit attack untuk
menuju puncak. Hujan akhirnya turun tapi beruntung tidak deras dan tidak
berlangsung lama.
Summit Attack
Malam
itu aku benar-benar susah untuk tidur, padahal sudah beberapa kali mata ini aku
pejamkan. Tapi tak apa yang penting tubuh ini diistirahatkan. Waktu saat itu
menunjukan Pukul 23.30 WIB, perutku mulai menagih janji untuk diisi. Aku keluar
tenda sendirian saja. Anggota tim belum ada yang bangun. Tampak di tenda sebelah
para pendaki yang baru turun ikut meramaikan malam di Pos kandang Batu. Aku
mengambil kompor dan menyalakannya. Lalu memasak Mie Instant untuk mengganjal
perut. Baru setelah aku masak, anggota
yang lain bangun dan ikut memasak mie.
Setelah
semuanya selesai makan, kami sedikit berdiskusi ihwal rencana pendakian
kepuncak. Karena mereka saking semangatnya ingin melihat Sunrise di puncak kami
sepakat untuk memulai pendakian menuju puncak pukul 12.00 WIB. Dan tujuan kami
adalah Puncak Gede dengan ketinggian 2958 mdpl.
Perbekalan
yang dibawa untuk ke puncak yakni empat botol air mineral ukuran 1,5 liter,
kompor, dan makanan ringan. Sisianya ditinggal di dalam tenda.
Kami
sampai di pos Kandak Badak sekitar setengah jam perjalanan dari Kandang Batu.
Suasana di Kandang Badak memang benar-benar sangat penuh oleh tenda,
warna-warni tenda begitu ramai, bak pasar malam.
Perjalanan
dilanjutkan, kami tiba di persimpangan antara Puncak Gede dan Puncak Pangrango.
Bila ingin ke Puncak Pangrango maka tinggal belok ke kanan dan kami tetap pada
tujuan semula yakni menuju Puncak Gede dengan mengambil jalan lurus. Track bebatuan yang tersusun seperti
sebelumnya sudah tidak dijumpai yang ada hanya track alami karena sudah tidak
mungkin lagi sengaja membuat track dengan jalur yang lumayan terjal.
Dea
dan Dedi sempat kondisi tubuhnya memburuk. Tetapi tetap bisa melanjutkan
perjalanan. Sampai akhirnya kami tiba di Tanjakan Setan. Namanya saja sudah
seram seperti itu dan ya, memang sesuai dengan sebutannya. Tracknya berupa
tebing bebatuan yang amat curam. Dengan kemiringan kira-kira 70-80 derajat.
Pendaki harus merangkak untuk bisa naik. Panjangnya sekitar 30-40 meter. Beruntungdi
jalur itu sudah tersedia tali untuk berpegangan sedikit meringankan beban kami.
Sebenarnya ada jalur Alternatif tidak harus melewati Tanjakan Setan, tapi
rasanya ada yang kurang kalau kami tak melewati jalur itu.
Jalan
semakin menanjak. Di tengah-tengah perjalanan kami beristirahat sejenak. Dan
mengeluarkan biskuit untuk mengganjal perut. Perjalanan berlanjut, bau belerang
sudah mulai tercium menandakan puncak semakin dekat. Aku sempat berbalik
kebelakang, tampak di sela-sela pepohonan, Gunung Pangrango berdiri dengan
gagahnya. Dan diatas sana akan lebih bagus lagi.
Kami
akhirnya tiba di jalur menuju Puncak Gede dengan berjalanan mengitari kalderanya.
Jalur itu ditandai dengan batas pengaman berupa tembok dan tali di sisi kiri
jalur. Tracknya berupa pasir dengan bebatuan halus. Sekitar 300 meter lagi
menuju puncak, kami beristirahat sejenak. Udara benar-benar dingin sekali,
ditambah hembusan angin yang amat kencang bahkan gemuruhnya begitu terdengar. Rembulan
begitu tampak dengan bentuknya yang bulat sempurna, dengan warna kuning emasnya
menyinari malam yang biasa pekat bila tanpa rembulan. Gunung Pangrango semakin
jelas terlihat dan semakin terlaihat gagah dengan sinar rembulan.
Kami
terlalu dini untuk menuju puncak. Aku melihat jam di tangan dan waktu masih
menunjukan pukul 03.00 dini hari. Kami hampir terkena Hipotermia karena saking
dinginnya. Sudah satu jam setengah kami berdiam saja. Tidak ada pendaki lain
yang mendaki ke puncak hanya kami saja. Entah berapa suhu waktu itu, yang jelas
begitu dingin sekali serasa menembus sampai tulang. Kami segera mengeluarkan
kompor untuk memasak air panas dan menyeduh kopi.
Perjalanan
dilanjut setelah kami packing kembali barang bawaan. Aku paling belakang. Sebentar
saja berjalanan
Dan inilah....
kami
tiba di Puncak Gede. Sebuah plang menandakan bahwa kami sampai di puncak dengan
ketinggian 2958 meter diatas permukaan laut itu, tepat pukul 05.00 WIB.
Dari
atas Puncak Gede, aku melihat lampu-lampu kota begitu mesra dibawah sana.
Semuanya tampak begitu kecil dengan kerlap kerlipnya seakan menambah harmoni.
Aku pun sama, merasa begitu kecil. Di puncak Ini, hatiku bergetar melihat
ciptaan Sang Khalik yang amat megah. Seperti halnya kegagahan Gunung Pangrango
yang begitu jelas terlihat di tanah tempat aku berpijak sekarang. Aku merasakan
jiwa ini begitu tenang dan damai. Tuhan, sungguh Indah ciptaan-Mu, terima kasih
atas kenikmatan ini.
Agvi
merekam video dari kamera pocketnya, setiap orang saling bergantian berbicara.
Termasuk aku yang mengucap syukur pada Allah SWT, Ibu, Ayah dan kalian
bersembilan. Ada juga teman kami Rijal dan Ridwan yang menyampaikan salam dari
Puncak Gede untuk sameone. Rijal memberi salam pada seseorang perempuan yang di
Unpas sana, dan Ridwan untuk seorang perempuan yang sedang di kosan. Namanya
sedikit aku privasi.
Aku
tak meninggalkan shalat, dengan bertayamum aku Shalat Subuh di Puncak Gede.
Sebuah momen yang begitu sakral aku pikir. Di puncak aku teringat kata-kata
Khalil Gibran.
“Arti
penting manusia adalah bukan pada apa yang ia raih, melainkan lebih pada apa
yang ingin dia raih”
Seperti
halnya perjalanan ini, aku sudah inginkan sejak kelas sebelas Madrasah Aliyah
dulu. Tak pernah kesampaian. Sempat di bulan Juni aku berencana ke Gunung Gede
Pangrango, segala persiapan sudah dikumpulkan, tapi Allah tidak mengijinkan.
Sekarang, akhirnya mimpi itu tercapai juga.
Para
pendaki lain mulai berdatangan. Sunrise akan segera datang. Kami begitu menanti
kedatangannya. Bola keemasan itu akhirnya muncul bersamaan garis-garis awan
yang mewadahinya. Lalu lautan awan tercipta di hadapan kami. Begitulah, untuk
yang kedua kalinya aku berada di atas awan. Ya Allah begitu indah sekali
ciptaan-Mu. Tak lupa, momen ini begitu bagus untuk berfoto. Negeri di atas
awan, seperti halnya lagu Katon Bagaskara. Indah bukan main.
Sunrise di Puncak Gede (foto : Dede Lukman, Edited) |
Kami
kurang beruntung, Edelweiss tidak berbunga karena bukan musimnya. Biasanya bulan
Agustus Edelweis suka mekar. Aku juga sedikit risih melihat aksi vandalisme
oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab. Di Batu dan di plang-plang
informasi banyak sekali coretan-coretan tak penting. Padahal alam telah
memberikan apa yang mereka butuhkan tapi mereka tak bisa menghargai alam.
Ketahuilah bahwa alam tak pernah main-main.
Setelah
puas melihat sunrise, melihat kegagahan Gunung Pangrango, dan berfoto. Pukul
08.00 WIB kami turun dari puncak dan sampai di Kandang Batu kembali pukul 11.00
WIB. Kami menyiapkan untuk makan, menu kali ini mie dan ikan kaleng. Setelah
semua selesai dan kami sudah packing barang-barang, pukul 12.00 WIB kami
melakukan perjalanan pulang.
Foto bersama, sebelum turun dari puncak. Dengan background belakang Gunung Pangrango. |
Sampai
kapanpun aku akan tetap rindu pada puncak gunung, sebab ada kedamaian disana,
dan apalah arti puncak dan tempat-tempat indah lainnya bila kita tidak bisa mentafakuri
atas Ciptaan-Nya itu.
*****
1 comment:
Hai anak gunung, kapan kita sambangi puncak-puncak yang lain?
Post a Comment