Wednesday, October 2, 2013

Kedamaian di Puncak Gede

Gunung Pangrango dilihat dari Gunung Gede.
Foto: Dede Lukman Hakim
“Aku tidak pernah berniat menaklukan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian. Pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa!” – Idhan Lubis

Hari itu, wajah langit hampir tak ada yang berbeda, begitu bersahabat. Cerah dengan sinar mataharinya seperti hari-hari sebelumnya. Tidak terlihat akan turun hujan. Sebuah perjalanan yang sudah lama aku tunggu sejak kelas sebelas MA dulu sebentar lagi akan dimulai, perjalanan pendakian menuju Gunung Gede Pangrango.

Jumat, 20 September 2013

Setelah packing dan persiapan lainnya, kami berangkat dari Bandung bersama sembilan teman lainnya yaitu Adam, Agvi, Dea, Deni, Dede, Dedi, Rijal, Ridwan dan Sidik menggunakan Motor menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas, Cianjur. Semuanya adalah teman satu kelasku kecuali Ridwan. Aku dan Agvi yang sebelumnya punya  pengalaman mendaki gunug, sisanya tak ada. Akupun sengaja mengajak mereka yang belum pernah supaya punya pengalaman. Waktu itu, sekitar pukul 16.30 WIB kami start dari kosan Sidik. Setelah berdoa bersama kami akhirnya berangkat dengan enam motor.

Cuaca sepertinya sedang tak bersahabat dengan kami, hujan akhirnya turun. Kami istirahat sejenak tepat di perbatasan Bandung-Cianjur yakni di Sasak Rajamandala. Waktu itu sekitar pukul 19.00 WIB. Setelah hujan reda kamipun kembali melanjutkan perjalanan, walau akhirnya harus berhenti lagi karena hujan kembali turun, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jas hujan.

Sekitar pukul 21.30 WIB kami tiba di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kami memarkir motor disana meski biaya parkirnya lumayan mahal Rp 20.000 untuk tiga hari. Tapi tak apalah yang penting motor kami aman.

Aku kagum dengan balai itu, begitu luas, megah dan halaman kebunnya yang tertata rapi. Kami bermalam di masjid kantor itu yang terletak di belakang bangunan balai. Setelah menjamak Sholat, kami memasak mie untuk mengisi perut, sesudahnya kami istirahat.

Sabtu, 21 September 2013

Suara adzan Subuh terdengar keras, aku bangun untuk Shalat. Udara mulai terasa dingin, tapi aku nekat mandi untuk bisa menyesuaikan suhu dengan tubuhku. Baru setelah mandi Shalat Subuh. Setelah packing terlebih dahulu, kami menuju depan kantor. Untuk sekedar merasakan kehangatan matahari pagi di Cibodas.

Kami belum melakukan pendakian, karena belum mendapat SIMAKSI (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi). Perlu diketahui, bahwa TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) sudah memberlakukan sistem booking online bila ingin melakukan pendakian. Booking Online bisa dilakukan di website (Gedepangrango.org).Di TNGGP mekanisme atau tata kelolanya memang ketat. Pendakianpun hanya bisa dilakukan dua hari satu malam, tidak boleh lebih. Kalau lebih mungkin akan dikenakan sanksi.

Tiga minggu sebelum pendakian, kami sudah booking online terlebih dahulu, bahkan untuk pembayaranpun sudah kami lunasi, dengan besar Rp. 5.000 per orang jadi total semuanya Rp 50.000. Setelah itu, bukti transfer dikirim via email, lalu data pendaki akan divalidasi. Setelah itu tinggal mengurus SIMAKSI. Pengambilan SIMAKSI bisa dilakukan pas hari H pendakian.

Matahari pagi begitu hangat dirasa, membiaskan rasa dingin kami. Udara pagi begitu sejuk sekali jauh dari polusi. Suasana yang amat jarang aku rasakan di Bandung. Walaupun masih bisa kami dapatkan di kaki Gunung Maglayang. Cukup dekat karena tempat kuliahku tepat di kaki gunung itu.

Kantor mulai buka Pukul 09.00 WIB kerana hari libur. Biasanya –selain waktu libur—sudah buka sejak pukul 08.00 WIB. Dan waktu itu masih pukul 07.00 WIB.Waktu luang dibuang sayang, akhirnya kami sempat berfoto-foto dulu di depan kantor. Para pendaki yang lain sudah begitu ramai berdatangan sejak tadi pagi, ada juga yang sama dengan kami harus mengurus SIMAKSI dulu. Pintu masuk Cibodas yang akan menjadi jalur pendakian kami memang lumayan ramai waktu itu. Karena pintu masuk Gunung Putri ditutup sementara karena ada perbaikan jalur. 

Dari kiri duduk : Saya, Deni, Dede, Sidik, Adam, Dea, Ridwan.
Berdiri : Dedi, Agvi, Rijal
(foto : Dede lukman)

Dari Informasi yang aku dapat, pintu masuk Cibodas hari ini sudah Full. Aku lupa memberi tahu, kalau TNGGP selain sistem booking, juga sudah menggunakan sistem kuota. Pintu masuk Cibodas 300 orang, Gunung Putri 200 orang dan Salabintana 100 orang perhari. Karena Pintu masuk Gunung Putri ditutup untuk sementara,  jumlah kuota di pintu masuk Cibodas ditambah jadi 500 orang per hari. Dengan jumlah sebanyak itu, kami sedikit khawatir tidak akan kebagian tempat membuat tenda.

Waktu sudah menunjukan Pukul 09.00 WIB, pintu kantor akhirnya dibuka petugas. Begitu masuk, aku sedikit terkesima melihat ruangan kantor yang begitu indah dan rapih. Ada kolam, kantin, ruang tunggu, meja kasir, dan miniatur Gunung Gede Pangrango, beserta hewan-hewan yang di awetkan. Setelah memberikan foto copy KTP, lalu mengisi Surat Pernyataan dengan materai Rp. 6.000 dan menyerahkan bukti transfer akhirnya kami mendapat SIMAKSI. Sekitar Pukul 10.00 WIB kami baru bisa melakukan pendakian menuju Pos 1.
Gerbang selamat datang, sebelum menuju Pos 1

Di pos 1, SIMAKSI diperlihatkan kepada petugas sambil mendata barang bawaan kami. Cuaca mulai sedikit mendung, tapi tak sampai turun hujan. Kami lanjutkan perjalanan. Jalur pendakian di pintu masuk Cibodas tampaknya sudah terkelola rapih. Jalan sudah tersusun rapih dengan batu-batuan yang dibuat seperti tangga. Tracknya  tidak terlalu berat banyak bonus-bonus dengan jalan lurus.

Pukul 11.15 WIB kami tiba di Pos Talaga Biru. Sedikit beristirahat sambil mengabadikan momen. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Rawa Gayonggong. Pos Rawa Gayonggong merupakan jalur rawa. Rawa ini terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk tumbuhnya berbagai jenis rumput-rumputan, terutama rumput Gayonggong yang mendominasi rawa ini. kira-kira seperti itu menurut informasi di plang.Jalur rawa ini sudah dibuat jembatan dengan tembok sekitar satu kilometer jaraknya. Perjalanan menuju pos ini sekitar 20 menit dari Talaga Biru.

Jalur pendakian semakin siang semakin ramai. Bukan hanya para pendaki tapi juga para wisatawan yang akan menuju Curug Cibereum. Banyak pula aku menyaksikan pasangan muda-mudi yang sedang asik berduaan. Turis asing pun tak sedikit kami jumpai. Kami sampai di pertigaan antara Curug Cibereum dan Air Panas. Bila ingin ke Curug Cibereum tinggal mengambil arah ke kanan dan bila ke Air Panas tinggal mengambil arah lurus.

Pukul 14.00 WIB kami tiba di Pos Air Panas. Ibarat menemukan sumber air di gurun, Gunung Gede Pangrango menawarkan bonus yang begitu melimpah. Air yang begitu melimpah ditambah ada sumber air panas. Sepertinya rasa lelah dan udara yang mulai terasa dingin di ketinggian sekitar 2.400 mdpl sedikit terobati. Air panas tersebut berupa Air terjun disebelah kiri jalur, sedangkan dibawahnya adalah jurang. Beruntung sudah dipasang tali pengaman di sisi kanan jalur supaya memudahkan para pendaki melewati Air Panas tersebut.

Setelah melewati air panas tersebut barulah terdapat selter dan disamping kiri selter ada sungai dengan  air panas pula tapi tidak sepanas air terjun yang kami lewati. Kami beristirahat telebih dahulu sambil merefleksikan tubuh dengan merendamkan kaki di air panas tersebut. Para pendaki lain pun melakukan hal yang sama dengan kami.

Perjalanan kami lanjutkan, karena begitu banyaknya para pendaki hari ini. sempat aku bertanya kepada pendaki yang baru turun.

“ Mas, baru turun ? “ aku bertanya.
“ Iya,” jawab pendaki yang tidak aku tanya namanya.
“ Kalau di Kandang Badak, kira-kira bisa ngecamp di sana ? “ aku bertanya lagi.
“ Wah, udah penuh sekali mas, paling kalau mau di Kandang Batu aja, masih mending kalau di Kandang Batu,” Ujarnya.
“Oh makasih banyak Mas,” ucapku.
“ Iya sama-sama,” pungkasnya.

Seketika dengan kondisi seperti itu, kami langsung membagi tim menjadi dua. Tim yang pertama yang fisiknya lumayan kuat berada di depan membawa tenda dan langsung membooking tempat untuk mendirikan tenda. Sedang tim yang kedua kebagian membawa logistik. Setelah sepakat perjalanan kami lanjutkan. Aku kebagian di tim pertama bersama Adam dan Ridwan.

Perjalanan dari Air Panas menuju Kandang Batu tidak terlalu lama hanya 30 menit. Setibanya di pos sekitar pukul 14.30 WIB kami mendirikan tenda. Sempat aku berebut tempat mendirikan tenda dengan pendaki lain, tapi aku tak ingin urusan jadi melebar dan memutuskan untuk mengalah saja, karena masih ada lahan kosong yang cukup untuk dua tenda dengan kapasitas lima orang.

Di gunung, kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan tampak jelas, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dam keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau menjanya, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung.

Tenda sudah terpasang, dan semua tim sudah berkumpul. Kami lanjut membuka logistik lalu masak. Lanjut dengan Shalat jamak Ashar dan Dzuhur, lalu ngopi bareng. Aku memasang Hammuk di belakang tenda. Hammuck seperti ayunan di pantai yang di pasang dengan di ikat kedua sisinya ke pohon.

Malam tiba, aku segera Shalat Maghrib dan menjamak Isha. Tapi sayang tak ada api unggun karena dilarang dan tak ada suasana saling bertukar cerita saat api unggun. Padahal aku rindu suasana itu, seperti saat aku mendaki ke Gunung Ciremai. Langit mulai bergemuruh menandakan hujan akan turun, udara mulai semakin dingin. Semua barang-barang dimasukan ke dalam tenda. Termasuk hammuck yang sudah terpasang, rencananya aku akan tidur diatas hammuck, tapi karena akan turun hujan dan sudah mulai terasa butiran-butiran air turun dari langit akhirnya aku lepas Hammuck itu. Padahal sudah berat-berat aku bawa. Semuanya harus tidur lebih awal karena dinihari nanti kami harus summit attack untuk menuju puncak. Hujan akhirnya turun tapi beruntung tidak deras dan tidak berlangsung lama.

Summit Attack

Malam itu aku benar-benar susah untuk tidur, padahal sudah beberapa kali mata ini aku pejamkan. Tapi tak apa yang penting tubuh ini diistirahatkan. Waktu saat itu menunjukan Pukul 23.30 WIB, perutku mulai menagih janji untuk diisi. Aku keluar tenda sendirian saja. Anggota tim belum ada yang bangun. Tampak di tenda sebelah para pendaki yang baru turun ikut meramaikan malam di Pos kandang Batu. Aku mengambil kompor dan menyalakannya. Lalu memasak Mie Instant untuk mengganjal perut. Baru setelah aku masak,  anggota yang lain bangun dan ikut memasak mie.

Setelah semuanya selesai makan, kami sedikit berdiskusi ihwal rencana pendakian kepuncak. Karena mereka saking semangatnya ingin melihat Sunrise di puncak kami sepakat untuk memulai pendakian menuju puncak pukul 12.00 WIB. Dan tujuan kami adalah Puncak Gede dengan ketinggian 2958 mdpl.

Perbekalan yang dibawa untuk ke puncak yakni empat botol air mineral ukuran 1,5 liter, kompor, dan makanan ringan. Sisianya ditinggal di dalam tenda.

Kami sampai di pos Kandak Badak sekitar setengah jam perjalanan dari Kandang Batu. Suasana di Kandang Badak memang benar-benar sangat penuh oleh tenda, warna-warni tenda begitu ramai, bak pasar malam.

Perjalanan dilanjutkan, kami tiba di persimpangan antara Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Bila ingin ke Puncak Pangrango maka tinggal belok ke kanan dan kami tetap pada tujuan semula yakni menuju Puncak Gede dengan mengambil jalan lurus. Track bebatuan yang tersusun seperti sebelumnya sudah tidak dijumpai yang ada hanya track alami karena sudah tidak mungkin lagi sengaja membuat track dengan jalur yang lumayan terjal.

Dea dan Dedi sempat kondisi tubuhnya memburuk. Tetapi tetap bisa melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya kami tiba di Tanjakan Setan. Namanya saja sudah seram seperti itu dan ya, memang sesuai dengan sebutannya. Tracknya berupa tebing bebatuan yang amat curam. Dengan kemiringan kira-kira 70-80 derajat. Pendaki harus merangkak untuk bisa naik. Panjangnya sekitar 30-40 meter. Beruntungdi jalur itu sudah tersedia tali untuk berpegangan sedikit meringankan beban kami. Sebenarnya ada jalur Alternatif tidak harus melewati Tanjakan Setan, tapi rasanya ada yang kurang kalau kami tak melewati jalur itu.

Jalan semakin menanjak. Di tengah-tengah perjalanan kami beristirahat sejenak. Dan mengeluarkan biskuit untuk mengganjal perut. Perjalanan berlanjut, bau belerang sudah mulai tercium menandakan puncak semakin dekat. Aku sempat berbalik kebelakang, tampak di sela-sela pepohonan, Gunung Pangrango berdiri dengan gagahnya. Dan diatas sana akan lebih bagus lagi.

Kami akhirnya tiba di jalur menuju Puncak Gede dengan berjalanan mengitari kalderanya. Jalur itu ditandai dengan batas pengaman berupa tembok dan tali di sisi kiri jalur. Tracknya berupa pasir dengan bebatuan halus. Sekitar 300 meter lagi menuju puncak, kami beristirahat sejenak. Udara benar-benar dingin sekali, ditambah hembusan angin yang amat kencang bahkan gemuruhnya begitu terdengar. Rembulan begitu tampak dengan bentuknya yang bulat sempurna, dengan warna kuning emasnya menyinari malam yang biasa pekat bila tanpa rembulan. Gunung Pangrango semakin jelas terlihat dan semakin terlaihat gagah dengan sinar rembulan.

Kami terlalu dini untuk menuju puncak. Aku melihat jam di tangan dan waktu masih menunjukan pukul 03.00 dini hari. Kami hampir terkena Hipotermia karena saking dinginnya. Sudah satu jam setengah kami berdiam saja. Tidak ada pendaki lain yang mendaki ke puncak hanya kami saja. Entah berapa suhu waktu itu, yang jelas begitu dingin sekali serasa menembus sampai tulang. Kami segera mengeluarkan kompor untuk memasak air panas dan menyeduh kopi.

Perjalanan dilanjut setelah kami packing kembali barang bawaan. Aku paling belakang. Sebentar saja berjalanan

Dan inilah....

kami tiba di Puncak Gede. Sebuah plang menandakan bahwa kami sampai di puncak dengan ketinggian 2958 meter diatas permukaan laut itu, tepat pukul 05.00 WIB.

Dari atas Puncak Gede, aku melihat lampu-lampu kota begitu mesra dibawah sana. Semuanya tampak begitu kecil dengan kerlap kerlipnya seakan menambah harmoni. Aku pun sama, merasa begitu kecil. Di puncak Ini, hatiku bergetar melihat ciptaan Sang Khalik yang amat megah. Seperti halnya kegagahan Gunung Pangrango yang begitu jelas terlihat di tanah tempat aku berpijak sekarang. Aku merasakan jiwa ini begitu tenang dan damai. Tuhan, sungguh Indah ciptaan-Mu, terima kasih atas kenikmatan ini.

Agvi merekam video dari kamera pocketnya, setiap orang saling bergantian berbicara. Termasuk aku yang mengucap syukur pada Allah SWT, Ibu, Ayah dan kalian bersembilan. Ada juga teman kami Rijal dan Ridwan yang menyampaikan salam dari Puncak Gede untuk sameone. Rijal memberi salam pada seseorang perempuan yang di Unpas sana, dan Ridwan untuk seorang perempuan yang sedang di kosan. Namanya sedikit aku privasi.

Aku tak meninggalkan shalat, dengan bertayamum aku Shalat Subuh di Puncak Gede. Sebuah momen yang begitu sakral aku pikir. Di puncak aku teringat kata-kata Khalil Gibran.

“Arti penting manusia adalah bukan pada apa yang ia raih, melainkan lebih pada apa yang ingin dia raih”

Seperti halnya perjalanan ini, aku sudah inginkan sejak kelas sebelas Madrasah Aliyah dulu. Tak pernah kesampaian. Sempat di bulan Juni aku berencana ke Gunung Gede Pangrango, segala persiapan sudah dikumpulkan, tapi Allah tidak mengijinkan. Sekarang, akhirnya mimpi itu tercapai juga.

Para pendaki lain mulai berdatangan. Sunrise akan segera datang. Kami begitu menanti kedatangannya. Bola keemasan itu akhirnya muncul bersamaan garis-garis awan yang mewadahinya. Lalu lautan awan tercipta di hadapan kami. Begitulah, untuk yang kedua kalinya aku berada di atas awan. Ya Allah begitu indah sekali ciptaan-Mu. Tak lupa, momen ini begitu bagus untuk berfoto. Negeri di atas awan, seperti halnya lagu Katon Bagaskara. Indah bukan main.

Sunrise di Puncak Gede (foto : Dede Lukman, Edited)


Kami kurang beruntung, Edelweiss tidak berbunga karena bukan musimnya. Biasanya bulan Agustus Edelweis suka mekar. Aku juga sedikit risih melihat aksi vandalisme oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab. Di Batu dan di plang-plang informasi banyak sekali coretan-coretan tak penting. Padahal alam telah memberikan apa yang mereka butuhkan tapi mereka tak bisa menghargai alam. Ketahuilah bahwa alam tak pernah main-main.

Setelah puas melihat sunrise, melihat kegagahan Gunung Pangrango, dan berfoto. Pukul 08.00 WIB kami turun dari puncak dan sampai di Kandang Batu kembali pukul 11.00 WIB. Kami menyiapkan untuk makan, menu kali ini mie dan ikan kaleng. Setelah semua selesai dan kami sudah packing barang-barang, pukul 12.00 WIB kami melakukan perjalanan pulang.

Foto bersama, sebelum turun dari puncak.
Dengan background belakang Gunung Pangrango.
Sebenarnya aku masih penasaran dalam perjalanan ini. Alun-alun Suryakencana, Lembah Mandalawangi dan Puncak Pangrango masih menanti untuk aku jajaki, semoga ada kesempatan lain. Aamiin.! Tapi yang jadi tujuan utama aku saat ini yakni bisa kembali pulang ke Bandung dengan selamat.

Sampai kapanpun aku akan tetap rindu pada puncak gunung, sebab ada kedamaian disana, dan apalah arti puncak dan tempat-tempat indah lainnya bila kita tidak bisa mentafakuri atas Ciptaan-Nya itu.


*****

1 comment:

Anonymous said...

Hai anak gunung, kapan kita sambangi puncak-puncak yang lain?