Oleh Adi Permana
Ada pameo yang mengatakan bahwa pers itu
ibarat dua sisi mata uang; antara media yang idealis dan media komersial. Hal
itu mengingatkan saya pada salah satu diskusi santai bersama teman-teman pers
mahasiswa yang ada di kampus UIN SGD Bandung, pertengahan Oktober lalu. Yakni
soal idealisme media massa di tengah geliat komersialisme. Waktu itu,
ada yang bertanya tentang bagaimana caranya
mempertahankan keuntungan (finansial) media massa tanpa harus mempertaruhkan sisi idealismenya? Jika
tidak salah, kira-kira begitu pertanyaanya. Jawaban dari pertanyaan itulah yang
akan dibahas dalam tulisan saya yang sederhana ini.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
mari kita pahami terlebih dahulu apa itu idealisme dan komersialisme. Menurut
AS Sumandiria, idealisme sendiri adalah cita-cita, obsesi, atau sesuatu yang
terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan
menurut etika dan norma yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara
(AS Sumandiria, 2006:46). Sementara komersialisme, menurut saya adalah bentuk
perubahan paradigma berpikir kearah finansial atau keuntungan semata.
Sebenarnya antara idealisme dan komersialisme
sangat bertolak belakangan. Namun demi tercapainya cita-cita, kedua hal
tersebut harus bersinergi. Lebih serius menanggapi hal tersebut, Drs. Mohammad
Shoelhi, dalam bukunya Komunikasi Internasional, Perspektif Jurnalistik
mengemukakan bahwa idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Karena
jika pers mengutamakan segi idealisme saja, pers tidak akan hidup lama.
Sedangkan jika perusahaan pers hanya mengutamakan segi komersial, pers
hanya akan menjadi budak bagi pembayarnya[1]
Sudah banyak yang membicarakan, bahwa
pers memiliki empat fungsi; kontrol sosial, hiburan, informasi dan edukasi.
Pada UU no. 40 tahun 1999 juga dijelaskan bagaimana seharusnya pers yang ideal. Seperti
menegakan kebenaran dan keadilan, menegakan nilai dasar demokrasi dan lain
sebagainya. Lalu timbulah pertanyaan lain, bagaimana caranya untuk
mengaplikasikan pers yang seperti itu? Penjelasan berikut ini akan membahas
pertanyaan tersebut, sekaligus pertanyaan di awal tulisan
Mewujudkan Pers yang
Ideal
Dewasa ini pers
memang sudah menjelma menjadi lembaga industri. Oleh karenanya, pers tidak
hanya mengurusi masalah kejurnalistikan, tapi juga harus dijalankan dengan
merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi. Sebagai sebuah perusahaan, pers juga
harus meraup keuntungan. Dalam posisi ini, apapun sajian pers tidak bisa
dilepaskan dari tuntutan pasar.
Hanya dengan
berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya
yang ideal. Maksudnya, idealisme tanpa komersialisme hanyalah ilusi. Seperti yang dijelaskan AS Sumandra, bahwa pers harus seimbang antara
idealisme dan komersialisme. Tetapi pada praktiknya, tetap saja tuntutan
komersialisme lebih dominan dibandingkan sisi pers sebagai media massa. Sebagai
langkah mewujudkan pers yang ideal, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang
mesti diperhatikan insan pers.
Hal pertama adalah pers harus
memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kenapa harus begitu?
Karena wartawan dalam suatu media menentukan kualitas pers itu tersendiri. Semacam
hubungan timbal balik, jika SDM-nya berkualitas maka akan menjadi cerminan
terhadap medianya yang berkualitas pula. Pers juga semestinya selektif pada
saat perekrutan jurnalisnya yang baru. Bukan tidak mungkin, karena SDM yang
tidak berkualitas membuat nama pers menjadi tercoreng.
Kedua yakni mempertahankan ideologi yang sudah dibentuk. Hal ini ditujukan untuk
membuat branding tersendiri yang
menjadikan ciri berbeda antara pers yang satu dengan pers yang lain. Yang perlu
dikhawatirkan adalah jangan sampai ideologi terbawa oleh tuntutan pasar atau
terbawa pemilik media. Justru pers yang harus menggiring perkembangan pasar.
Selain itu, dengan mempertahankan
ideologi, media massa akan membentuk segmentasi pembaca yang tetap. Misalnya, apa
yang menyebabkan Tempo dan Kompas sampai saat ini masih bertahan? Karena
keduanya memiliki ideologi yang kuat dan tetap mempertahankannya. Harian Umum
Kompas, sudah melanglang buana di industri media selama 49 tahun, bagi saya,
salah satu media yang bisa dibilang sedikit lebih netral dan independen dari
unsur-unsur politik dibanding media massa tetangga. Hal itulah yang membuatnya
tetap bertahan sampai sekarang.
Tempo juga sama, Gunawan Muhamad sebagai
pendiri Majalah Tempo memiliki ideologi kuat dalam hal berita politik, dan investigatfinya.
Sehingga membentuk karaktrer kuat bagi medianya, membentuk segmentasi
tersendiri, memiliki pembaca yang tetap, tetapi tidak terbawa oleh arus
kepentingan pemodal.
Seperti dalam catatan Andreas Harsono
(pendiri Yayasan Pantau) tentang Sembilan Elemen Jurnalisme yang menceritakan soal
kondisi pers di Amerika. Bahwa pada 1893, ada seorang pengusaha membeli harian
The New York Times dan percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas
dengan surat kabar-surat kabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Adolf
Ochs hendak menyajikan surat kabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik.
Juga pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan
di halaman surat kabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini
kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu
diperlukan demi kepentingan masyarakat.”
Beberapa contoh yang disebutkan Andreas
mestinya ditiru oleh pemilik media di Indonesia. Para pemilik media harus
berani mengambil sikap dan menjadikan pers bukan hanya untuk kepentingan
pribadi, atau pasar tapi juga kepentingan bersama. Atau kalau perlu, ada orang
kaya yang mau membeli semua media massa dan menjadikan sebagai lembaga yang
beridealisme tinggi.
Hal ketiga
yang perlu diperhatikan untuk mempertahan sisi ekonomi media tanpa harus
menggadaikan idealismenya, pers harus mengikuti perkembangan jaman. Ini mutlak
harus dilakukan agar para konsumen – dalam hal ini pembaca—tidak akan
meninggalkan media itu. Mari kita ambil contoh TVRI. Sepertinya media tersebut
lambat dalam mengikuti perkembangan jaman. Banyak program-program yang kurang
kreatif, inovatif dan tidak kekinian (bahasa populernya anak muda). Sehingga
menyebabkan kalah bersaing dengan media lain yang lebih baik pengelolaannya.
Selain itu, yang keempat adalah pembatasan terhadap pesanan khusus pemodal, dalam
hal ini pengiklan. Itulah barangkali yang menjadi inti permassalahan yang
sedang dibahas dalam tulisan ini; antara idealisme dan komersialisme media
massa. Yakni pengaruh pemodal terhadap suatu berita atau kebijakan redaksi di
media tertentu. Apalagi saat ini banyak para pemilik media yang terlibat dalam
arus perpolitikan, sehingga sisi independensi media sedikit rada kabur. Dan
menyulitkan seorang jurnalis juga, di satu sisi ia butuh pekerjaan untuk
penghidupannya. Di sisi lain ia dituntut untuk menjadi corong demokrasi dalam
menyempaikan kepentingan publik dibanding kepentingan pemodal.
Hal inilah yang
menyebabkan media tidak menyampaikan informasi secara berimbang atau dalam
istilah jurnalistik disebut cover both
sides. Beberapa-- bahkan sebagian besar -- media Indonesia menjadi alat untuk
melancarkan kepentingan pribadi ataupun golongan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
ideologi pemilik merupakan salah satu faktor terbesar yang dapat mempengaruhi
isi media. Inilah yang menyebabkan mengapa isi media tidak lagi mengutamakan
keempat fungsi media dan keberimbangan sebuah informasi, tetapi lebih kepada
bagaimana men-setting sebuah agenda agar mindset
masyarakat dapat terbentuk sesuai dengan apa yang telah diagendakan oleh media.[2]
Di sinilah peran pihak-pihak sebagai
pengawas media dipertanyakan. Para elite atau pemerintah, sebenarnya
telah memiliki pihak-pihak yang ditunjuk dan bertanggung jawab atas regulasi
dan monitoring atau kontrol terhadap media massa. Seperti KPI atau Komisi
Penyiaran Indonesia. Pemerintah juga memiliki instansi terkait yakni Kementrian
Komunikasi dan Informasi. Seharusnya mereka dituntut untuk lebih tegas lagi
dalam membuat regulasi dan mengontrol jalannya media massa, agar media dapat
menjalankan praktik jurnalistik secara ideal. Sanksi yang tegas juga harus diterapkan
bagi media yang melanggar untuk memberikan efek jera.
Selain itu, peran masyarakat juga
diperlukan sebagai pengawas media massa. Tapi di sinilah masalahnya, tidak
semuanya masyarakat melek akan media. Dibutuhkan peran lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab soal media dalam membangun literasi media di Indonesia.
Sehingga, masyarakat bisa menjadi gate keeper yang ketat dalam menyaring
informasi. Tampaknya, dewasa ini sudah ada pergerakan ke arah sana, dengan
banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang literasi media. Contohnya
remotivi, lembaga sensor film dan lain sebagainya.
Berpedoman Pada Sembilan
Elemen Jurnalisme
Ada sejumlah prinsip
dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis.
Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, seiring
berjalannya waktu, prinsip-prinsip itu tetap bertahan. Di kalangan orang pers, istilah sembilan elemen jurnalisme mungkin sudah populer
di telinga. Adalah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang menyusunnya.. Kesimpulan
itu didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak
diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan di Amerika dalam periode
tiga tahun.
Bagi saya, kesembilan prinsip itu tidak
lain sebagai kaidah yang ideal bagi pers ataupun jurnalis dalam berperilaku
sebagai media massa. Sembilan elemen itu antara lain; Berpihak pada kebenaran,
berpihak kepada masyarakat, disiplin verifikasi, independen, pemantau
kekuasaan, menjadi forum untuk publik, membuat hal penting menjadi menarik dan
relevan, komprehensip dan proporsional serta kembali pada hati nurani.
Tapi dalam perkembangannya, Kovach dan
Tom menambahkan satu elemem lain, yakni warga juga memiliki hak dan tanggung
jawab dalam hal terkait berita. Elemen terbaru ini muncul karena perkambangan
teknologi informasi, terutama internet. Warga saat ini bukan hanya sebagai
konsumen yang pasif dalam menerima berita, tapi ia juga bisa menciptakan media
sendiri. Seperti menjamurnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism) , jurnalisme
komunitas, dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita,
dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme[3].
Dalam
tulisan ini, tidak ada maksud untuk men-judge bahwa semua media massa seburuk
yang dibicarakan. Masih banyak media yang memiliki napas idealisme kuat,
contohnya Pantau, walaupun akhirnya bangkrut. Hanya saja ada dominasi media mainstream yang
membentuk karakter seperti itu. Bagaimanapun kondisi
pers saat ini, di tengah idealisme dan komersialisme media, pers harus tetap
bertahan pada porosnya sebagai media literasi yang mencerdaskan manusia. Bukan
justru menyesatkan manusia dalam kepentingan pihak-pihak tertentu.
Sebagai penutup tulisan, saya ingin berkata bahwa peran media bisa sangat bermakna, bukan hanya sebatas untuk kepentingan pribadi belaka, tapi menjadi wadah bagi suara-suara tak didengar.
Sebagai penutup tulisan, saya ingin berkata bahwa peran media bisa sangat bermakna, bukan hanya sebatas untuk kepentingan pribadi belaka, tapi menjadi wadah bagi suara-suara tak didengar.
No comments:
Post a Comment