Thursday, October 30, 2014

Media Massa, Antara Idealisme dan Komersialisme



Oleh Adi Permana

Ada pameo yang mengatakan bahwa pers itu ibarat dua sisi mata uang; antara media yang idealis dan media komersial. Hal itu mengingatkan saya pada salah satu diskusi santai bersama teman-teman pers mahasiswa yang ada di kampus UIN SGD Bandung, pertengahan Oktober lalu. Yakni soal idealisme media massa di tengah geliat komersialisme. Waktu itu, ada yang bertanya tentang  bagaimana caranya mempertahankan keuntungan (finansial) media massa  tanpa harus mempertaruhkan sisi idealismenya? Jika tidak salah, kira-kira begitu pertanyaanya. Jawaban dari pertanyaan itulah yang akan dibahas dalam tulisan saya yang sederhana ini.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu idealisme dan komersialisme. Menurut AS Sumandiria, idealisme sendiri adalah cita-cita, obsesi, atau sesuatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara (AS Sumandiria, 2006:46). Sementara komersialisme, menurut saya adalah bentuk perubahan paradigma berpikir kearah finansial atau keuntungan semata. 

Sebenarnya antara idealisme dan komersialisme sangat bertolak belakangan. Namun demi tercapainya cita-cita, kedua hal tersebut harus bersinergi. Lebih serius menanggapi hal tersebut, Drs. Mohammad Shoelhi, dalam bukunya Komunikasi Internasional, Perspektif Jurnalistik mengemukakan bahwa idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Karena jika pers mengutamakan segi idealisme saja, pers tidak akan hidup lama. Sedangkan jika perusahaan pers hanya mengutamakan segi komersial, pers hanya akan menjadi budak bagi pembayarnya[1]

Sudah banyak yang membicarakan, bahwa pers memiliki empat fungsi; kontrol sosial, hiburan, informasi dan edukasi. Pada UU no. 40 tahun 1999 juga dijelaskan bagaimana seharusnya pers yang ideal. Seperti menegakan kebenaran dan keadilan, menegakan nilai dasar demokrasi dan lain sebagainya. Lalu timbulah pertanyaan lain, bagaimana caranya untuk mengaplikasikan pers yang seperti itu? Penjelasan berikut ini akan membahas pertanyaan tersebut, sekaligus pertanyaan di awal tulisan

Mewujudkan Pers yang Ideal

Dewasa ini pers memang sudah menjelma menjadi lembaga industri. Oleh karenanya, pers tidak hanya mengurusi masalah kejurnalistikan, tapi juga harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi. Sebagai sebuah perusahaan, pers juga harus meraup keuntungan. Dalam posisi ini, apapun sajian pers tidak bisa dilepaskan dari tuntutan pasar.

Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Maksudnya, idealisme tanpa komersialisme hanyalah ilusi. Seperti yang dijelaskan AS Sumandra, bahwa pers harus seimbang antara idealisme dan komersialisme. Tetapi pada praktiknya, tetap saja tuntutan komersialisme lebih dominan dibandingkan sisi pers sebagai media massa. Sebagai langkah mewujudkan pers yang ideal, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan insan pers.

Hal pertama adalah pers harus memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kenapa harus begitu? Karena wartawan dalam suatu media menentukan kualitas pers itu tersendiri. Semacam hubungan timbal balik, jika SDM-nya berkualitas maka akan menjadi cerminan terhadap medianya yang berkualitas pula. Pers juga semestinya selektif pada saat perekrutan jurnalisnya yang baru. Bukan tidak mungkin, karena SDM yang tidak berkualitas membuat nama pers menjadi tercoreng.

Kedua yakni mempertahankan ideologi yang sudah dibentuk. Hal ini ditujukan untuk membuat branding tersendiri yang menjadikan ciri berbeda antara pers yang satu dengan pers yang lain. Yang perlu dikhawatirkan adalah jangan sampai ideologi terbawa oleh tuntutan pasar atau terbawa pemilik media. Justru pers yang harus menggiring perkembangan pasar.

Selain itu, dengan mempertahankan ideologi, media massa akan membentuk segmentasi pembaca yang tetap. Misalnya, apa yang menyebabkan Tempo dan Kompas sampai saat ini masih bertahan? Karena keduanya memiliki ideologi yang kuat dan tetap mempertahankannya. Harian Umum Kompas, sudah melanglang buana di industri media selama 49 tahun, bagi saya, salah satu media yang bisa dibilang sedikit lebih netral dan independen dari unsur-unsur politik dibanding media massa tetangga. Hal itulah yang membuatnya tetap bertahan sampai sekarang.

Tempo juga sama, Gunawan Muhamad sebagai pendiri Majalah Tempo memiliki ideologi kuat dalam hal berita politik, dan investigatfinya. Sehingga membentuk karaktrer kuat bagi medianya, membentuk segmentasi tersendiri, memiliki pembaca yang tetap, tetapi tidak terbawa oleh arus kepentingan pemodal.

Seperti dalam catatan Andreas Harsono (pendiri Yayasan Pantau) tentang Sembilan Elemen Jurnalisme yang menceritakan soal kondisi pers di Amerika. Bahwa pada 1893, ada seorang pengusaha membeli harian The New York Times dan percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan surat kabar-surat kabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Adolf Ochs hendak menyajikan surat kabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik. Juga pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman surat kabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Beberapa contoh yang disebutkan Andreas mestinya ditiru oleh pemilik media di Indonesia. Para pemilik media harus berani mengambil sikap dan menjadikan pers bukan hanya untuk kepentingan pribadi, atau pasar tapi juga kepentingan bersama. Atau kalau perlu, ada orang kaya yang mau membeli semua media massa dan menjadikan sebagai lembaga yang beridealisme tinggi.  

Hal ketiga yang perlu diperhatikan untuk mempertahan sisi ekonomi media tanpa harus menggadaikan idealismenya, pers harus mengikuti perkembangan jaman. Ini mutlak harus dilakukan agar para konsumen – dalam hal ini pembaca—tidak akan meninggalkan media itu. Mari kita ambil contoh TVRI. Sepertinya media tersebut lambat dalam mengikuti perkembangan jaman. Banyak program-program yang kurang kreatif, inovatif dan tidak kekinian (bahasa populernya anak muda). Sehingga menyebabkan kalah bersaing dengan media lain yang lebih baik pengelolaannya. 

Selain itu, yang keempat adalah pembatasan terhadap pesanan khusus pemodal, dalam hal ini pengiklan. Itulah barangkali yang menjadi inti permassalahan yang sedang dibahas dalam tulisan ini; antara idealisme dan komersialisme media massa. Yakni pengaruh pemodal terhadap suatu berita atau kebijakan redaksi di media tertentu. Apalagi saat ini banyak para pemilik media yang terlibat dalam arus perpolitikan, sehingga sisi independensi media sedikit rada kabur. Dan menyulitkan seorang jurnalis juga, di satu sisi ia butuh pekerjaan untuk penghidupannya. Di sisi lain ia dituntut untuk menjadi corong demokrasi dalam menyempaikan kepentingan publik dibanding kepentingan pemodal.

Hal inilah yang menyebabkan media tidak menyampaikan informasi secara berimbang atau dalam istilah jurnalistik disebut cover both sides. Beberapa-- bahkan sebagian besar -- media Indonesia menjadi alat untuk melancarkan kepentingan pribadi ataupun golongan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ideologi pemilik merupakan salah satu faktor terbesar yang dapat mempengaruhi isi media. Inilah yang menyebabkan mengapa isi media tidak lagi mengutamakan keempat fungsi media dan keberimbangan sebuah informasi, tetapi lebih kepada bagaimana men-setting sebuah agenda agar mindset masyarakat dapat terbentuk sesuai dengan apa yang telah diagendakan oleh media.[2]

Di sinilah peran pihak-pihak sebagai pengawas media dipertanyakan. Para elite atau pemerintah, sebenarnya telah memiliki pihak-pihak yang ditunjuk dan bertanggung jawab atas regulasi dan monitoring atau kontrol terhadap media massa. Seperti KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia. Pemerintah juga memiliki instansi terkait yakni Kementrian Komunikasi dan Informasi. Seharusnya mereka dituntut untuk lebih tegas lagi dalam membuat regulasi dan mengontrol jalannya media massa, agar media dapat menjalankan praktik jurnalistik secara ideal. Sanksi yang tegas juga harus diterapkan bagi media yang melanggar untuk memberikan efek jera.
Selain itu, peran masyarakat juga diperlukan sebagai pengawas media massa. Tapi di sinilah masalahnya, tidak semuanya masyarakat melek akan media. Dibutuhkan peran lembaga-lembaga yang bertanggung jawab soal media dalam membangun literasi media di Indonesia. Sehingga, masyarakat bisa menjadi gate keeper yang ketat dalam menyaring informasi. Tampaknya, dewasa ini sudah ada pergerakan ke arah sana, dengan banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang literasi media. Contohnya remotivi, lembaga sensor film dan lain sebagainya.

Berpedoman Pada Sembilan Elemen Jurnalisme

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap  jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, seiring berjalannya waktu, prinsip-prinsip itu tetap bertahan. Di kalangan orang pers, istilah sembilan elemen jurnalisme mungkin sudah populer di telinga. Adalah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang menyusunnya.. Kesimpulan itu didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan di Amerika dalam periode tiga tahun.

Bagi saya, kesembilan prinsip itu tidak lain sebagai kaidah yang ideal bagi pers ataupun jurnalis dalam berperilaku sebagai media massa. Sembilan elemen itu antara lain; Berpihak pada kebenaran, berpihak kepada masyarakat, disiplin verifikasi, independen, pemantau kekuasaan, menjadi forum untuk publik, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, komprehensip dan proporsional serta kembali pada hati nurani.

Tapi dalam perkembangannya, Kovach dan Tom menambahkan satu elemem lain, yakni warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal terkait berita. Elemen terbaru ini muncul karena perkambangan teknologi informasi, terutama internet. Warga saat ini bukan hanya sebagai konsumen yang pasif dalam menerima berita, tapi ia juga bisa menciptakan media sendiri. Seperti menjamurnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism) , jurnalisme komunitas, dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme[3].

Dalam tulisan ini, tidak ada maksud untuk men-judge bahwa semua media massa seburuk yang dibicarakan. Masih banyak media yang memiliki napas idealisme kuat, contohnya Pantau, walaupun akhirnya bangkrut. Hanya saja ada dominasi media mainstream yang membentuk karakter seperti itu. Bagaimanapun kondisi pers saat ini, di tengah idealisme dan komersialisme media, pers harus tetap bertahan pada porosnya sebagai media literasi yang mencerdaskan manusia. Bukan justru menyesatkan manusia dalam kepentingan pihak-pihak tertentu. 

Sebagai penutup tulisan, saya ingin berkata bahwa peran media bisa sangat bermakna, bukan hanya sebatas untuk kepentingan pribadi belaka, tapi menjadi wadah bagi suara-suara tak didengar.


[1] Dikuti dari astridwiandriani21.blogspot.com/2013/11/dua-sisi-mata-uang-pers-idealisme-dan.html (29 Oktober 2014, pukul 00.24 WIB)
[2] Ibid
[3] Dari laman https://www.academia.edu/5142169/Sembilan_Elemen_Jurnalisme_Plus_Elemen_ke-10_ (Diakses tanggal 29 Oktober 2014 pukul 07. 37 WIB)

No comments: