Monday, April 14, 2014

Menjadi Jurnalisme Damai





 Oleh Adi Permana*

Berbicara tentang posisi jurnalis dalam sebuah konflik amat menarik. Karena dewasa ini isu-isu tentang konflik, baik itu antar negara, ideologi, agama, budaya dan yang lainnya kerap diperbincangkan di banyak media. Termasuk media massa. Sebuah konflik sebenarnya sangat bergantung pada media massa. Sebab sebagaimanapun kecilnya konflik itu, jika media massa memberitakan dengan dahsyat, maka konflik itu akan menjadi konflik besar. Paling tidak akan jadi sebuah legitimasi. Dengan kata lain media massa menjadi alat percepatan suatu topik tertentu.

Realitas media massa dalam memberitakan sebuah konflik bukanlah hal sepele. Dalam konteks ini, media massa setidaknya mempunyai tiga peranan penting. Pertama, media menjadi agen untuk mempertajam , memperluas dan “mempopulerkan” sebuah konflik. Kedua, media massa menjadi aktor netral, mediator atau penengah pada suatu konflik. Dan yang ketiga, media massa bisa menjadi alat dalam melenyapkan atau menghilangkan sebuah konflik.

Bila kita cermati kembali kajian tentang etika jurnalisme. Di sana secara tegas menjelaskan bahwa posisi seorang jurnalis pada sebuah konflik harus netral. Seorang jurnal tidak boleh memihak pada salah satu golongan atau kepentingan. Pada posisi itu, jurnalis dalam praktek jurnalistik
(pencarian, pengolahan, dan penginformasian sebuah informasi) harus seobjektif mungkin. Singkat kata, dalam kondisi demikian, seorang jurnalis dituntut untuk profesional. Untuk menjaga posisi itu, jurnalis sekali lagi harus berada pada posisi netral, dengan berita yang disajikan harus objektif, sesuai fakta, berimbang, akurat dan tidak memihak.

Tetapi kemudian, peran normatif profesionalisme jurnalis tersebut dikritik oleh Bill Kovach (2004) dan Charity (1995). Menurut Kovach, idealisme jurnalis kepada khalayak atau citizen haruslah lebih besar ketimbang soal profesional. Artinya, tugas utama seorang jurnalis adalah bertanggung jawab kepada kepentingan warga. Bukan sekadar masalah objektif, tetapi harus menyangkut kepentingan rakyat. Kesetiaan pada warga ini disebut Kovach sebagai independensi jurnalistik yang sesungguhnya.

Menanggapi permasalahan tersebut, penulis berpendapat bahwa seorang jurnalis tetap harus berada pada posisinya yang netral dalam sebuah konflik. Jurnalis harus tetap seobjektif mungkin dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Jika hal itu betul-betul dilakukan dengan benar, jurnalis tidak perlu untuk memihak. Karena sudah barang tentu—jika itu kepentingan publik—akan berpihak kepada publik atau rakyat. Jurnalis tidak boleh mempunyai keberpihakan, kecuali pada kebenaran. Bila terjadi keberpihakan justru nantinya akan menimbulkan persoalan lain. jurnalis nantinya akan dianggap sebagai musuh, dan posisinya akan semakin sulit.

Sebenarnya, profesional saja tidak cukup jika ingin menyelesaikan sebuah konflik tanpa keberpihakan. Seorang jurnalis juga harus menerapkan konsep jurnalisme damai. Konsep jurnalisme damai adalah jenis jurnalistik yang memposisikan berita-berita sebegitu rupa, yang mendorong dilakukannya analisis konflik dan tanggapan tanpa kekerasasan. Jurnalisme damai adalah lawan dari jurnalisme peperangan. Bertujuan menempatkan konflik sebagai sesuatu yang melibatkan banyak pihak, dan mengejar banyak tujuan, ketimbang sekadar dikotomi sederhana antara dua pihak yang berperang. Sehingga nantinya penyelesaian terhadap suatu konflik bisa terselesaikan.

Untuk memberikan berita yang objektif, sesuai fakta, akurat, berimbang dan lainnya, maka ketika dalam liputan, jurnalis harus menggunakan sistem investigasi news. Supaya kebenaran yang sebenar-benarnya bisa diperoleh untuk kemudian dipublikasikan.

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN SGD Bandung, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa SUAKA


No comments: